JagatBisnis.com – Lembaga advokasi kasus kekerasan seksual, LBH Apik, mendorong Kepolisian Resor Kota Bukittinggi tetap menindaklanjuti kasus dugaan inses yang diungkap Wali Kota Erman Safar, kendati ditentang keras oleh sekelompok masyarakat.
Pasalnya, menurut Direktur LBH Apik, Uli Pangaribuan, kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di daerah yang identik religius kerap ditutup-tutupi lantaran kejahatan tersebut dianggap aib.
Menanggapi persoalan ini, Kapolresta Bukittinggi menyatakan masih melakukan pendalaman.
Namun, seorang tokoh adat Nagari Kurai mengeklaim kasus tersebut hoaks dan disebutnya telah mencemarkan nama baik hukum adat.
Kasus dugaan inses antara ibu dan anak yang diungkapkan Wali Kota Bukittinggi, Erman Safar, membuat gempar masyarakat setempat.
Erman menyebut hubungan persetubuhan ibu dan anak kandung tersebut sudah berlangsung bertahun-tahun sejak si anak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga sekarang berusia 28 tahun.
Penuturan Erman membuat peserta yang hadir dalam sosialisasi pencegahan pernikahan anak di rumah dinasnya pada Rabu (21/06), terkejut.
Sebab kejadian tersebut terjadi di tengah masyarakat yang dikenal cukup agamis.
Erman kemudian memaparkan bahwa kasus dugaan inses di Bukittinggi ini sedang ditangani pemkot dan kepolisian.
Adapun korban sedang menjalani karantina di bawah pengawasan instansi penerima wajib lapor (IPWL) Genggam Solidaritas dan Konselor Adiksi Kementerian Sosial.
Pasalnya korban disebut mengalami kecanduan lem sejak berusia 13 tahun.
“Kami buat laporan karena ada pencemaran nama baik, inses. Padahal tidak ada,” imbuh EY.
Menurut dia, Erman semestinya mengonfirmasi terlebih dahulu dugaan inses tersebut ke keluarganya sebelum membuka ke publik. Katanya, akibat pernyataan tersebut keluarganya dirugikan.
“Itu merusak nama pribadi, pencemaran nama baik, agama, keluarga kami, dan ekonomi,” sambungnya.
Berdasarkan pemeriksaan, sang ibu disebut membantah telah melakukan inses dengan anaknya.
Sementara itu Ketua Instansi Penerima Wajib Lapor (IPWL) Genggam Solidaritas, Sukendra Madra, menyebut sang anak telah menjalani karantina selama tujuh bulan. (tia)