Tarif Listrik dan Harga Barang Naik Tinggi Tahun Depan

JagatBisnis.com – Utang pemerintah menggunung hingga Rp6.700 triliun, tak pedulikan peringatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dampaknya bisa bermacam-macam, harga barang naik, beban hidup rakyat kecil tambah berat.

Analis utang dari Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR), Gede Sandra menyebut, rasio debt service terhadap penerimaan Indonesia pada 2020 saja, mencapai 46,77%. Jauh melebihi ambang batas IMF sebesar 25%-35%. Dan, BPK sudah memperingatkan masalah ini, namun tidak ada tanggapan. “Ini sangat berbahaya. Beban anggaran untuk bayar cicilan dan bunganya menjadi sangat tinggi tiap tahun,” ungkap Gede di Jakarta.

Lalu apa dampaknya kepada rakyat? Menurut Gede, beban hidup rakyat kecil semakin berat. Karena, pemerintah akan mencari cara mudah. Misalnya, mengurangi subsidi listri yang berdampak kepada naiknya tarif listrik. Atau mengurangi kuota pupuk bersubsidi atau LPG bersubsidi.
“Termasuk, misalnya harga BBM naik di awal tahun depan. Berbarengan dengan tarif listrik. Pupuk dan LPG bersubsidi kuotanya dikurangi. Itu dampak dari besarnya utang dan bunga utang yang harus dibayar pemerintah tiap tahun,” kata Gede.

Baca Juga :   1 Juli, Tarif Listrik untuk Orang Kaya Naik

“Tahun depan, pemerintah harus siapkan Rp400 triliun untuk bayar bunga utang. Akibatnya, subsidi untuk rakyat kecil dipotong. Artinya, tarif listrik bakalan naik. Kuota pupuk bersubsidi atau LPG bersubsidi, dikurangi. Saat ini saja, petani kesulitan dapat pupuk subsidi,” lanjut Gede.

Baca Juga :   Kenaikan Tarif Listrik akan Disesuaikan

Tak hanya itu, kata Gede, anggaran di kementerian dan lembaga negara pasti kena getahnya juga. Bakalan diturunkan angkanya. “Di tengah turunnya penerimaan pajak, Menkeu Sri Mulyani menerapkan solusi yang konservatif. Pos-pos K/L serta berbagai subsidi diturunkan. Alhasil, beban hidup rakyat semakin berat. Lebih celaka lagi kalau tahun depan BBM naik. Ini celaka bung,” papar Gede.

Baca Juga :   1 Juli, Tarif Listrik untuk Orang Kaya Naik

Dia pun mengkritisi masih rendahnya tax ratio di era Menteri Keuangan Sri Mulyani. Akibatnya, pemerintah harus bergantung kepada utang untuk menambal defisit. “Sekarang tax ratio di bawah 9 persen. Mau tak mau, pemerintah harus ngutang. Tahun depan, ekonomi makin berat,” ungkapnya.(pia)

MIXADVERT JASAPRO