Pemerintah Terus Berupaya Menghentikan Sunat Perempuan

JagatBisnis.com –  Pemerintah secara serius berkomitmen mencegah terjadinya praktik berbahaya perlukaan dan pemotongan genitalia perempuan (P2GP) atau sunat perempuan. Komitmen ini dilakukan untuk mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) melalui Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017, terkait penghapusan semua praktik berbahaya, seperti perkawinan usia anak, perkawinan dini dan paksa, serta sunat perempuan.

“Oleh karena itu, semua pihak harus bersinergi dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat. Ini merupakan kunci untuk mencegah praktik sunat perempuan di Indonesia,” kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga menegaskan seluruh pihak, baik pemerintah, lembaga masyarakat, tokoh agama, tokoh masyarakat, media massa, dan unsur lainnya,” kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Pupayoga seperti dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (1/10/2021).

Dia mengaku, pemerintah secara serius berkomitmen mencegah terjadinya sunat perempuan (P2GP) di Indonesia. Oleh Karena itu, pihaknya bersinergi dengan berbagai pemangku kepentingan telah menyosialisasikan Roadmap dan menyusun Rencana Aksi Pencegahan P2GP dengan target hingga tahun 2030.

Baca Juga :   Survei KPPPA: Jumlah Kekerasan Perempuan dan Anak Menurun

“Adapun berbagai strategi yang akan dilakukan yaitu melalui pendataan, pendidikan publik, advokasi kebijakan, dan koordinasi antar pemangku kepentingan. Karena berbagai strategi tersebut adalah wujud upaya kami menjamin perlindungan seluruh warga Indonesia serta menjunjung tinggi hak asasi manusia,” tegas Bintang.

Dia menjelaskan, faktanya, sunat perempuan masih menjadi permasalahan serius di Indonesia. Bahkan, beberapa kali disoroti dunia internasional. Sehingga masalah sunat ini menjadi masalah yang sangat kompleks di Indonesia karena dilakukan berdasarkan nilai-nilai sosial secara turun-temurun.

“Padahal, dengan berbagai dampak yang merugikan perempuan dan manfaat yang belum terbukti secara ilmiah. Apalagi sebenarnya perempuan merupakan salah satu ancaman terhadap kesehatan reproduksi, serta salah satu bentuk kekerasan berbasis gender, bahkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia,” imbuhnya.

Baca Juga :   Survei KPPPA: Jumlah Kekerasan Perempuan dan Anak Menurun

Pada kesempatan yang sama, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Maria Ulfah Anshor menambahkan, praktik sunat perempuan merupakan bentuk pelanggaran HAM khususnya pelanggaran hak asasi perempuan sebagai aksi pembiaran melukai tubuh perempuan yang tidak memiliki manfaat dan tidak memiliki dasar dari sisi ajaran agama. Sunat perempuan juga merupakan pelanggaran hak perempuan karena telah menghilangkan atau melukai anggota tubuh yang memberikan rasa sakit dan berakibat jangka panjang.

“Upaya kami dalam menghentikan dan mencegah praktik sunat perempuan, yaitu dengan memberikan argumentasi berdasarkan penelitian kualitatif dan kuantitatif dalam bentuk Policy Brief untuk disampaikan kepada pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Kami juga menekankan pentingnya memasukan upaya pencegahan praktik sunat perempuan ke dalam indikator kota/kabupaten layak anak (KLA). Sehingga betul-betul adanya aksi nyata pencegahan yang terstruktur dan sistemik yang dilakukan pemerintah daerah,” paparnya.

Baca Juga :   Survei KPPPA: Jumlah Kekerasan Perempuan dan Anak Menurun

Pada kesempatan yang sama, Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan, Muhammad Fadli menegaskan, tidak ada satu pun jurnal ilmiah medis yang menyebutkan salah satu jenis kelamin memiliki hasrat seksual lebih besar. Jadi, adanya alasan manfaat sunat perempuan untuk menjaga hasrat perempuan agar tidak liar, itu tidaklah benar.

“Sunat perempuan justru dapat menimbulkan risiko kesehatan yang sangat berbahaya dan efek samping jangka panjang bagi perempuan, mulai dari risiko pendarahan, infeksi saluran kencing, gangguan hubungan seksual, hingga meninggal dunia,” ucapnya.

Ditambahkan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sudah mengeluarkan pernyataan, sunat pada perempuan tidak memiliki keuntungan dari sisi kesehatan. Sama halnya dengan IDI, Perhimpunan Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan, Ikatan Dokter Anak, Ikatan Bidan Indonesia, perawat, maupun tenaga medis lainnya juga menyatakan sunat pada perempuan tidak memiliki keuntungan dan tidak ada kurikulum sunat perempuan dalam pendidikan kedokteran. (eva)

MIXADVERT JASAPRO