Media Asing Soroti Tudingan ‘Dinasti Politik’ pada Putra Jokowi, Ada Keganjilan dalam Pilkada

jagatBisnis.com  Majunya Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Indonesia Joko Widodo, ke kancah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) rupanya ikut dibahas media internasional Reuters. Dalam artikel yang dimuat pada Kamis (19/11), Reuters menyebut putra sulung presiden itu melawan saingan yang tidak jelas, sehingga diharapkan berhasil merebut jabatan wali kota Surakarta, jabatan yang pernah dipegang oleh ayahnya. Namun, majunya Gibran Rakabuming Raka menimbulkan kecurigaan bahwa presiden sedang membentuk dinasti baru untuk menyikut elite lama Indonesia.

Dilansir dari Reuters, Jokowi dianggap sebagai ‘orang luar’ saat terpilih pada 2014. Pasalnya ia tidak terkait dengan keluarga berpengaruh yang mendominasi pemerintahan, bisnis, dan militer di Tanah Air. Meski Jokowi telah memimpin selama 6 tahun, beberapa kroni era Suharto tetap berkuasa lebih dari 2 dekade setelah reformasi demokrasi di Indonesia.

Jokowi pun membantah tudingan soal dinasti baru ini.

Setiap orang di Indonesia punya hak politik. Saya tidak pernah mengarahkan anak-anak saya. Ini adalah kompetisi. Anda bisa menang atau kalah,” dalihnya kepada Reuters pekan lalu.

Gibran lantas menjadi pendatang baru politik yang berkerabat dengan orang berpengaruh di negara terbesar Asia Tenggara ini. Meski dibantah Jokowi, para analis mengatakan politik Indonesia semakin menjadi urusan keluarga.

Menurut penelitian Yoes Kenawas, kandidat PhD bidang ilmu politik di Universitas Northwestern Illinois, tahun ini ada 146 ‘kandidat dinasti’, padahal pada Pilkada 2015 jumlahnya hanya 52. Tak hanya putra presiden, menantu presiden, putri wakil presiden, dan keponakan menteri pertahanan juga ikut mencalonkan diri. Tak tanggung-tanggung, di satu daerah pemilihan di pinggiran ibu kota Jakarta, 3 calonnya adalah kandidat dinasti.

Baca Juga :   Setahun Jokowi-Ma’ruf: Politik Tanpa Beban di Periode Kedua

“Demokrasi hanya memfasilitasi segelintir orang untuk mengakses kekuasaan,” keluh Titi Anggraini dari Perludem, kelompok pengawas Pilkada.

Namun, pencalonan Gibran ternyata juga menuai suara sumbang, meski ia maju di kampung halaman presiden. Salah satu ‘duri’ yang mengganjalnya adalah seorang aktivis bernama Halim HD.

Dua tahun lalu, saat kerabat mantan wakil presiden mencalonkan diri dalam Pilkada di Sulawesi, Halim memulai kampanye ‘kotak kosong’. Ia mendorong masyarakat agar memilih kotak kosong yang ada di surat suara. Tak disangka, kotak kosong itulah yang menang.

Tahun ini, saat putra presiden maju didukung koalisi 9 parpol dan tak memiliki lawan, pria 69 tahun ini kembali menghidupkan kampanye tersebut.

“Dalam konteks politik modern, kotak kosong ini pertanda ada yang salah,” ungkapnya.

Pada akhirnya, hanya beberapa jam tersisa sebelum pendaftaran ditutup pada 6 September, seorang kandidat saingan muncul.

Komisi Pilkada menjelaskan bahwa Bagyo Wahyono, seorang penjahit berusia 59 tahun, telah mendaftarkan pencalonannya tahun lalu. Namun, keterlambatan konfirmasi pencalonannya mengejutkan banyak orang.

Wakil Ketua DPRD Kota Solo Sugeng Riyanto mengungkapkan ada desakan agar tidak ada kotak kosong, berdasarkan informasi yang diterimanya. Ada ketakutan soal pandangan, apalagi jika mendapat suara yang banyak.

“Itu akan sangat memalukan, tidak hanya untuk Gibran tetapi juga presiden,” kata Sugeng, satu-satunya anggota partai politik yang tak mendukung putra Jokowi.

Ia pun yakin pencalonan Bagyo adalah ‘tentang menghindari skenario itu’. Di sisi lain, Bagyo membantahnya. Sementara itu, baik tim sukses Gibran maupun pihak kepresidenan tak menanggapi permintaan komentar atas tuduhan tersebut.

Baca Juga :   Ini Masalah Utama UU Ciptaker

Menyebut dirinya sebagai kandidat antikemapanan, Bagyo didukung organisasi sosial yang kurang terkenal bernama Tikus Pithi Hanata Baris.

“Saya mencalonkan diri karena kemampuan saya demi mematahkan kemapanan, untuk menunjukkan siapa pun dapat memilih dan dipilih,” tuturnya.

Namun, sekalipun maju sebagai independen, sejumlah pengamat menilai pencalonannya aneh. Pasalnya, ia tak punya modal sosial atau politik yang kuat dengan organisasi massa atau jaringan politik mana pun.

“Kandidat di Solo ini seperti datang dari antah-berantah,” komentar Wawan Mas’udi, pakar politik dari Universitas Gadjah Mada.

Untuk memenuhi syarat sebagai independen, Bagyo wajib mengumpulkan hampir 36 ribu tanda tangan. Menurut juru bicara tim sukses Bagyo, Budi Yuwono, mereka pertama kali mengumpulkan KTP dari pintu ke pintu pada awal 2019. Mulanya, mereka menghindari media sosial karena khawatir partai politik akan menghalangi kampanyenya.

Anehnya, beberapa orang yang diwawancarai Reuters di Solo mengaku baru mendengar Bagyo pada bulan September, saat ia mendaftarkan pencalonannya, meluncurkan laman kampanyenya, dan mengaktifkan media sosial.

Reuters pun berbicara pada sejumlah orang yang masuk dalam daftar tanda tangan dukungan, tetapi membantah dukungan mereka untuk Bagyo. Salah satunya adalah paralegal Tresno Subagyo.

“Saya tidak pernah memberikan dukungan saya kepada Bagyo. Saya juga tidak menyerahkan KTP saya,” ucapnya.

Sementara itu, menurut Johan Syafaat Mahanani dari kelompok pemantau Pilkada, kasus serupa ada puluhan.

“Mereka hanya orang biasa, takut melapor ke pihak berwajib,” ujarnya.

Baca Juga :   Heboh Konser Musik Cakada di Wakatobi Abaikan Protokol Kesehatan

Warga lainnya mengatakan kepada Reuters bahwa ada 2 orang bertamu ke rumahnya dan memotret KTP-nya. Setelah itu, baru alasannya dijelaskan.

“Mereka datang hanya untuk memastikan Bagyo bisa maju,” ungkapnya.

Ia juga menambahkan bahwa setidaknya ada 7 tetangga mengalami hal serupa.

Tim kampanye Gibran tak menanggapi pertanyaan keaslian dukungan Bagyo. Sementara itu, tim kampanye Bagyo menjelaskan bahwa mungkin saja ada ‘satu atau dua’ keselahan dalam pengumpulan tanda tangan, tetapi tak sampai ribuan.

Menurut penjelasan seorang komisioner setempat, Suryo Baruno, 14 ribu nama yang terdaftar untuk Bagyo dianggap tidak memenuhi syarat setelah 2 putaran verifikasi. Kemudian, tim kampanye itu mencari tanda tangan tambahan untuk memenuhi target. Badan Pengawas Pemilu secara terpisah mengatakan telah menyelidiki laporan penyalahgunaan KTP, tetapi tak menemukan pelanggaran.

Manuver Gibran pun mirip yang dilakukan ayahnya. Ia mengendarai sepeda ‘onthel’ menuju Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat mendaftarkan pencalonannya. Hal yang sama dilakukan ayahnya saat maju menjadi presiden.

Soal tudingan hendak melestarikan politik dinasti Indonesia, Gibran mengatakan bahwa ia ‘menyambut semua kritik’. Pria 33 tahun ini yakin dapat menciptakan perubahan positif dalam kehidupan lebih banyak orang sebagai wali kota daripada sebagai seorang pengusaha.

Menurut jajak pendapat Kompas pada Agustus tahun ini, hampir 61 persen responden tidak menyukai politik dinasti. Namun, di Solo, pemilihnya pragmatis.

“Dinasti politik sudah ada dari generasi ke generasi. Yang penting mereka memahami rakyatnya,” komentar Hartanto, seorang tukang becak berusia 42 tahun.(ser)

MIXADVERT JASAPRO