Ekbis  

Fly Jaya Resmi Mengudara: Garap Ceruk Pasar Propeller di Tengah Stagnasi Penerbangan Domestik

Fly Jaya Resmi Mengudara: Garap Ceruk Pasar Propeller di Tengah Stagnasi Penerbangan Domestik

JagatBisnis.com – Maskapai baru Fly Jaya resmi memulai operasional pada akhir pekan lalu, menandai penerbangan perdananya dengan rute Jakarta–Yogyakarta menggunakan pesawat baling-baling besar ATR 72-500. Di tengah stagnasi pasar penerbangan domestik, kehadiran Fly Jaya dinilai sebagai langkah strategis jangka panjang.

Pengamat penerbangan Alvin Lie menilai bahwa Fly Jaya tidak sekadar bermain di tengah kondisi pasar saat ini, melainkan membidik ceruk yang selama ini nyaris tak tersentuh, yakni segmen penerbangan berbiaya menengah menggunakan pesawat propeller.

“Kalau ditanya apakah ada pertumbuhan penumpang domestik? Tidak. Ini stagnan. Tapi Fly Jaya tidak melihat kondisi jangka pendek, melainkan potensi jangka panjang,” kata Alvin kepada Kontan, Senin (7/7).

Pasar Propeller yang Belum Ramai Pemain

Menurut data Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, jumlah penumpang penerbangan domestik pada 2024 tercatat sebesar 65,79 juta, sedikit menurun dari 2023 yang mencapai 65,95 juta. Angka ini masih jauh di bawah rekor tahun 2018 yang mencapai hampir 102 juta penumpang sebelum dampak pandemi dan Tol Trans Jawa menekan minat penerbangan jarak pendek.

Alvin menyoroti bahwa pasar pesawat propeller besar (ATR) masih minim pemain. Saat ini, hanya Wings Air yang dominan dengan sekitar 70 unit ATR, meski hanya sekitar 30 yang aktif. Citilink sendiri hanya mengoperasikan tiga unit.

“Artinya masih ada ruang besar yang bisa diisi oleh pemain baru. Ceruk ini nyaris tanpa pesaing,” ujarnya.

Potensi Pendapatan dan Tarif Lebih Menguntungkan

Salah satu daya tarik ceruk propeller adalah tarif batas atas (TBA) yang lebih tinggi. Berdasarkan regulasi KM 106/2019, TBA untuk pesawat propeller besar lebih tinggi dibanding jet untuk rute yang sama.

“Misalnya, Citilink jual tiket Jakarta–YIA (Yogyakarta International Airport) dengan Airbus seharga Rp 900.000. Tapi ke Bandara Adisutjipto pakai ATR bisa Rp 1,6 juta,” jelas Alvin.

Namun, ia menilai TBA saat ini sudah tidak relevan, mengingat terakhir direvisi pada 2019 saat asumsi harga avtur hanya Rp 9.500 dan kurs Rp 12.500 per dolar AS. Kini, avtur sudah tembus Rp 12.000–13.000, dan kurs lebih dari Rp 16.000 per dolar AS.

“Semua biaya naik—dari sewa pesawat, suku cadang, hingga asuransi. Tapi TBA tidak naik. Inilah kenapa maskapai lebih tertarik buka rute internasional daripada domestik,” tegasnya.

Tantangan TBA dan Masa Depan Rute Domestik

Alvin mencontohkan beberapa maskapai seperti Pelita Air dan TransNusa yang kini lebih agresif membuka rute internasional ke Singapura, Malaysia, bahkan Australia, karena margin keuntungannya lebih menjanjikan.

Jika TBA domestik tidak segera direvisi, ia memperingatkan akan semakin banyak maskapai yang enggan melayani rute dalam negeri. Akibatnya, pilihan konsumen terbatas dan konektivitas antar daerah bisa menurun.

“Masyarakat harus sadar, era tiket murah sudah lewat. Bahkan rute domestik Indonesia masih lebih murah dibanding Australia,” katanya.

Menurut Alvin, revisi TBA penting untuk menciptakan harga tiket yang lebih fleksibel dan realistis. Saat permintaan tinggi, harga bisa naik, tapi saat sepi bisa turun—sehingga tetap menguntungkan maskapai namun tetap memberi ruang harga kompetitif bagi konsumen.

“Kalau ingin tiket lebih masuk akal dan maskapai tetap terbang, TBA harus direvisi. Ini kunci agar industri tetap sehat,” tutup Alvin. (Hky)