JagatBisnis.com – Prospek bisnis PT Kapuas Prima Coal Tbk (ZINC) untuk tahun 2025 masih berada di bawah bayang-bayang ketidakpastian. Perusahaan tambang yang fokus pada produksi seng (Zn) dan timbal (Pb) ini belum berhasil mendapatkan izin ekspor konsentrat—langkah yang sebenarnya vital di tengah belum optimalnya serapan pasar domestik dan smelter internal yang belum berfungsi penuh.
Smelter Timbal Tak Efisien, Produksi Komersial Ditunda
Direktur Utama ZINC, Harjanto Widjaja, mengungkapkan bahwa smelter timbal milik anak usaha PT Kapuas Prima Citra yang sudah selesai dibangun ternyata menghadapi kendala besar. Teknologi yang digunakan dinilai sudah tertinggal, membuat tingkat recovery atau perolehan timbal dari konsentrat jauh dari ideal. Akibatnya, biaya produksi jadi terlalu tinggi dan tidak ekonomis.
“Biaya produksi tinggi membuat perusahaan tidak meraih profit, sehingga kami memutuskan untuk menunda produksi secara komersial,” ujarnya.
Uji coba smelter tersebut telah dilakukan sepanjang 2023–2024, dan perbaikan mulai dijalankan sejak Mei 2025 dengan target rampung pada akhir Agustus. Jika lancar, smelter akan beroperasi komersial mulai September 2025.
Ekspor Mandek, Penjualan Nol Rupiah
Di sisi lain, proyek smelter seng yang juga vital bagi masa depan perusahaan masih dalam tahap pembangunan dan ditargetkan selesai akhir 2025 atau awal semester I-2026. Masalah kian kompleks karena pasar dalam negeri belum mampu menyerap seluruh konsentrat produksi ZINC. Alhasil, ekspor menjadi jalan satu-satunya.
Sayangnya, permohonan Surat Persetujuan Ekspor (SPE) yang diajukan ZINC ke Kementerian Perdagangan sejak 2024, hingga kini belum membuahkan hasil. Akibatnya, penjualan ZINC tercatat nol rupiah pada kuartal I-2025. Kondisi ini mendorong rugi bersih perusahaan melonjak 239% secara tahunan menjadi Rp 52,1 miliar.
Utang Menumpuk, Investor Masuk?
ZINC kini juga tengah berhadapan dengan tekanan keuangan yang serius. Perusahaan harus menghadapi jatuh tempo utang bank sebesar Rp 1,5 triliun pada akhir 2025. Untuk mengatasi hal ini, manajemen menyatakan tengah menjajaki restrukturisasi utang dan berdiskusi dengan beberapa calon investor strategis yang tertarik terhadap proyek smelter perusahaan.
Analis: “ZINC Dalam Posisi Serba Sulit”
Analis dari Korea Investment & Sekuritas Indonesia, Muhammad Wafi, menilai bahwa posisi ZINC memang cukup pelik. Mengingat permintaan dalam negeri yang terbatas untuk seng dan timbal, ekspor menjadi kebutuhan yang sangat mendesak.
“Kalau belum dapat SPE, ini jadi sentimen negatif,” ujarnya.
Namun, ia juga melihat bahwa langkah manajemen untuk merestrukturisasi utang dan membuka pintu bagi investor baru bisa menjadi sinyal positif untuk perbaikan jangka panjang. Wafi sendiri merekomendasikan “wait and see” untuk saham ZINC, yang hingga Senin (30/6) masih berada di level Rp 13 per saham — termasuk dalam daftar saham dengan notasi khusus dari BEI.
Kesimpulan: Jalan Panjang ZINC Masih Penuh Batu
Dengan tekanan pada sisi operasional, belum adanya izin ekspor, dan ancaman jatuh tempo utang besar, ZINC kini berada dalam fase krusial. Harapan kini bertumpu pada efisiensi smelter timbal pasca perbaikan, tuntasnya pembangunan smelter seng, dan segera turunnya izin ekspor. Tanpa kepastian dalam waktu dekat, prospek ZINC akan tetap berada dalam wilayah kelabu. (Hky)