Ekbis  

Masa Sulit ZINC: Smelter Tertunda, Izin Ekspor Mandek, dan Utang Menggunung

Masa Sulit ZINC: Smelter Tertunda, Izin Ekspor Mandek, dan Utang Menggunung

JagatBisnis.com – Prospek PT Kapuas Prima Coal Tbk (ZINC) masih dibayangi awan gelap. Hingga pertengahan 2025, emiten tambang mineral ini belum juga mendapatkan izin ekspor konsentrat seng dan timbal, padahal pasar domestik belum mampu menyerap produksinya. Di sisi lain, smelter yang diharapkan menjadi tumpuan bisnis, belum juga bisa beroperasi optimal.

Direktur Utama ZINC, Harjanto Widjaja, mengungkapkan bahwa smelter timbal milik anak usaha, PT Kapuas Prima Citra, yang telah dibangun dan diuji coba sejak 2023, ternyata tidak efisien akibat penggunaan teknologi lama. Hal ini menyebabkan tingkat recovery rendah dan biaya produksi tinggi.

“Biaya produksi yang tinggi membuat perusahaan tidak meraih profit, sehingga kami memutuskan menunda produksi komersial,” jelas Harjanto dalam paparan publik, Senin (30/6).

Sementara itu, proyek pembangunan smelter seng juga belum rampung. Akibatnya, seluruh produk konsentrat seng dan timbal tidak dapat dijual di dalam negeri. ZINC pun mengambil inisiatif mengajukan izin ekspor sejak 2024, namun hingga kini belum memperoleh Surat Persetujuan Ekspor (SPE) dari pemerintah.

Tanpa ekspor, ZINC tak mampu mencatatkan penjualan. Per kuartal I-2025, pendapatan perusahaan tercatat nihil, dan rugi bersih membengkak 239% secara tahunan menjadi Rp 52,1 miliar.

Meski demikian, perbaikan smelter timbal mulai dilakukan pada Mei 2025 dan ditargetkan selesai pada akhir Agustus. Produksi komersial diharapkan bisa dimulai pada September 2025. Harjanto menambahkan bahwa hasil konsentrat timbal nantinya akan dijual langsung ke smelter milik anak usaha, untuk mengurangi ketergantungan pada pasar eksternal.

Adapun pembangunan smelter seng diharapkan selesai pada akhir Desember 2025 atau awal 2026. Manajemen berharap kedua fasilitas ini dapat menjadi titik balik bagi ZINC.

Tak hanya fokus pada sisi operasional, perusahaan juga berencana melakukan restrukturisasi atas utang bank sebesar Rp 1,5 triliun yang jatuh tempo pada akhir 2025. Sejumlah calon investor disebut tertarik berpartisipasi, terutama yang berminat pada pengembangan proyek smelter.

Analis Korea Investment & Sekuritas Indonesia (KISI), Muhammad Wafi, menilai ZINC sedang berada dalam posisi yang cukup sulit. Menurutnya, ekspor adalah satu-satunya jalan realistis bagi ZINC mengingat permintaan dalam negeri yang terbatas.

“Jika izin ekspor belum juga keluar, ini akan menjadi sentimen negatif berkelanjutan,” ujarnya.

Namun, rencana restrukturisasi utang serta upaya menggandeng investor strategis bisa menjadi katalis positif jangka menengah hingga panjang bagi perbaikan kondisi keuangan perusahaan.

Wafi merekomendasikan wait and see untuk saham ZINC. Pada perdagangan Senin (30/6), saham ZINC stagnan di level Rp 13 per saham. Emiten ini juga termasuk dalam daftar saham dengan notasi khusus dari Bursa Efek Indonesia (BEI), yang menandakan adanya risiko tertentu yang patut dicermati investor. (Mhd)