Ekbis  

Atasi Klaim Membengkak, AAUI Dukung Aturan Baru OJK Soal Asuransi Kesehatan

Atasi Klaim Membengkak, AAUI Dukung Aturan Baru OJK Soal Asuransi Kesehatan

JagatBisnis.com – Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menyatakan dukungannya terhadap kebijakan terbaru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait penyelenggaraan produk asuransi kesehatan. Dukungan ini diberikan menyusul terbitnya Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025 yang dirilis pada 19 Mei 2025.

Wakil Ketua AAUI Bidang Teknik, 3 Wayan Pariama, menyebutkan bahwa penyusunan aturan ini merupakan hasil diskusi panjang lintas sektor selama lebih dari setahun.

Rasio Klaim Tembus 120%, Inflasi Medis Jadi Pemicu

Salah satu latar belakang utama penerbitan SEOJK 7/2025 adalah tingginya rasio klaim asuransi kesehatan, yang bahkan mencapai di atas 100% di beberapa perusahaan, dan bisa menembus 120%.

“Secara rata-rata memang masih di bawah 100%, tetapi ada perusahaan yang klaimnya jauh melampaui itu,” jelas Wayan dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, Jumat (13/6).

Menurutnya, kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga merupakan fenomena global yang dipicu lonjakan biaya pengobatan atau inflasi medis. OJK dan pelaku industri asuransi pun mendorong pendekatan strategis dan tata kelola yang lebih ketat untuk mengantisipasi dampaknya.

Dukungan Penuh terhadap SEOJK 7/2025

AAUI memandang SEOJK 7/2025 sebagai langkah penting dalam memperkuat tata kelola produk asuransi kesehatan. Salah satu poin penting dalam regulasi ini adalah kewajiban perusahaan asuransi memiliki tenaga medis bersertifikat, termasuk ajun ahli kesehatan.

Asosiasi juga menyambut baik keberadaan Dewan Penasehat Medis (DPM) yang dapat bersifat lintas perusahaan. Artinya, satu DPM tidak harus dimiliki secara individual oleh setiap perusahaan.

Dorong Skema Co-Payment dan Coordination of Benefit

AAUI juga menyoroti skema co-payment minimal 10% yang diwajibkan OJK. Skema ini diyakini mampu meningkatkan kesadaran peserta terhadap biaya pengobatan dan mendorong efisiensi layanan tanpa mengorbankan kualitas klinis.

“Co-payment bisa membuat peserta lebih sadar dalam memilih layanan kesehatan sesuai kemampuan, dan secara keseluruhan menekan beban klaim,” ujar Wayan.

Selain itu, aturan juga mengatur Coordination of Benefit (CoB). Produk asuransi wajib memiliki skema CoB yang sinkron dengan BPJS Kesehatan, mengacu pada batas maksimal 200% dari tarif layanan, yakni 75% dari BPJS dan 125% dari asuransi tambahan.

Adaptasi Digital dan Masa Transisi

OJK juga mendorong penguatan sistem digital dan kemitraan teknologi untuk mendukung pertukaran data yang efisien antara penyedia layanan kesehatan, perusahaan asuransi, dan pihak administrasi.

Regulasi ini akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2026, dengan masa transisi hingga 31 Desember 2026 bagi polis yang menggunakan sistem perpanjangan otomatis (automatic renewal).

AAUI juga meminta OJK dan Kementerian Kesehatan untuk membantu memfasilitasi komunikasi antarlembaga guna memastikan transisi aturan berjalan mulus dan minim hambatan teknis. (Hky)