JagatBisnis.com – Harga minyak dunia ditutup menguat hampir 2% pada Jumat (9/5), mencatatkan kenaikan mingguan pertama sejak pertengahan April. Sentimen positif ini didorong oleh kesepakatan dagang antara Amerika Serikat dan Inggris, serta optimisme investor menjelang pertemuan penting antara pejabat ekonomi tinggi AS dan China.
Mengutip Reuters, harga minyak mentah Brent naik sebesar US$ 1,07 atau 1,7% ke level US$ 63,91 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS menguat US$ 1,11 atau 1,9% menjadi US$ 61,02 per barel. Secara mingguan, kedua acuan tersebut naik lebih dari 4%.
Presiden AS Donald Trump menyoroti perlunya China membuka pasarnya lebih luas untuk produk Amerika. Ia juga menyebutkan bahwa tarif sebesar 80% terhadap barang-barang China mungkin lebih masuk akal, dibandingkan tarif saat ini yang mencapai 145%. Hal ini disampaikan sehari setelah Washington dan London menyepakati pengurangan tarif atas ekspor mobil dan baja Inggris.
“Pasar energi mulai menyingkirkan pesimisme dan merespons optimisme yang muncul dari kemajuan hubungan dagang,” kata Alex Hodes, analis minyak di StoneX.
Harapan investor kian meningkat menjelang pertemuan antara Menteri Keuangan AS Scott Bessent dan Wakil Perdana Menteri China He Lifeng di Swiss pada 10 Mei. Ekspektasi positif juga diperkuat oleh data ekspor China yang tumbuh lebih cepat dari perkiraan pada April, sementara penurunan impor melambat.
Geopolitik dan Ketidakpastian Global Masih Bayangi
Meski begitu, pasar masih menghadapi ketidakpastian. Ketegangan di Timur Tengah turut mendorong harga minyak pekan ini. Militer Israel mengklaim telah mencegat rudal dari Yaman, sementara Oman memediasi upaya gencatan senjata antara AS dan kelompok Houthi.
Selain itu, kebijakan AS yang semakin keras terhadap Iran juga menjadi sorotan. Pada Kamis, Washington menjatuhkan sanksi kepada kilang minyak independen ketiga di Tiongkok karena membeli minyak mentah dari Iran, menjelang putaran baru pembicaraan nuklir di Oman.
Marcus McGregor, Kepala Riset Komoditas di Conning, mengingatkan bahwa prospek harga minyak ke depan masih tidak pasti, bergantung pada arah ekonomi AS, kebijakan dagang, dan penegakan sanksi terhadap Iran dan Rusia.
Sementara itu, rencana peningkatan produksi oleh OPEC+ juga berpotensi menahan laju kenaikan harga. Namun, survei Reuters menunjukkan bahwa produksi OPEC justru turun pada April, dipicu penurunan dari Libya, Venezuela, dan Irak—cukup untuk menjaga optimisme pasar menjelang dialog dagang AS-China. (Mhd)