JagatBisnis.com – Skema power wheeling yang sedang dibahas dalam perumusan Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBET) dinilai tidak akan mempengaruhi monopoli PLN dalam sektor ketenagalistrikan Indonesia. Menurut Surya Darma, Ketua Pusat Studi Energi Terbarukan Indonesia (ICRES), penerapan power wheeling justru diharapkan menjadi langkah penting dalam mendorong swasembada energi, serta mendukung transisi energi Indonesia menuju penggunaan energi terbarukan.
Power Wheeling dan Peran PLN
Surya menjelaskan bahwa skema power wheeling — yang memungkinkan penyewaan jaringan transmisi PLN oleh pihak swasta untuk mengalirkan listrik terbarukan dari produsen ke konsumen — tidak akan mengurangi peran PLN sebagai pengelola infrastruktur ketenagalistrikan. Sebaliknya, hal ini bisa menjadi pendorong bagi PLN untuk menambah kapasitas energi terbarukan dengan lebih cepat, tanpa perlu menunggu waktu yang lama. Dia juga menegaskan bahwa PLN tetap akan memegang peran penting karena semua Independent Power Producer (IPP) atau perusahaan pembangkit swasta yang terlibat dalam power wheeling harus menggunakan jasa transmisi PLN. Ini memungkinkan PLN mendapatkan nilai tambah dari pengelolaan jaringan transmisi, sekaligus memperkuat posisi PLN dalam sistem kelistrikan nasional.
Peningkatan Investasi Energi Terbarukan
Lebih lanjut, Surya menyatakan bahwa penghapusan atau penolakan terhadap skema power wheeling berpotensi menurunkan minat investasi swasta dalam sektor kelistrikan, khususnya di bidang listrik energi baru terbarukan (EBT). Menurutnya, jika skema ini ditolak, Indonesia bisa kehilangan peluang untuk mempercepat transisi energi dan menarik lebih banyak investor asing yang tertarik untuk berinvestasi dalam sektor EBT, sehingga pengembangan energi terbarukan bisa berjalan lebih lambat.
Penolakan Presiden Prabowo
Di sisi lain, ada penolakan terhadap skema power wheeling dari Presiden Prabowo Subianto, yang diungkapkan melalui Hashim Djojohadikusumo, Utusan Khusus Presiden RI Bidang Iklim dan Energi. Presiden Prabowo khawatir bahwa penerapan skema ini dapat memberikan potensi bagi pihak asing untuk menguasai sektor ketenagalistrikan Indonesia, sehingga dapat mengurangi kedaulatan Indonesia dalam pengelolaan energi. Meskipun Indonesia terbuka terhadap investasi asing, sektor kelistrikan dianggap menjadi hal yang harus tetap dikelola oleh pihak domestik untuk menghindari ketergantungan pada pihak luar.
Proses Pembahasan RUU EBET yang Alot
Pembahasan mengenai RUU EBET yang mencakup skema power wheeling ini sudah berlangsung sejak November 2022, tetapi hingga kini belum ada kesepakatan antara parlemen dan pemerintah terkait beberapa aspek, termasuk power wheeling. RUU ini sendiri telah mengalami beberapa perubahan nama, dimulai dengan RUU Energi Terbarukan (2018), kemudian menjadi RUU Energi Baru dan Terbarukan (2019), hingga akhirnya disahkan menjadi RUU EBET oleh DPR pada 2022. Proses pengesahannya berjalan lebih lambat dibandingkan dengan RUU Minerba, yang disahkan dalam waktu singkat. Hingga 2025, pembahasan RUU ini masih tertunda, dengan isu power wheeling menjadi salah satu hambatan utama dalam mencapai kesepakatan.
Kesimpulan
Skema power wheeling dalam RUU EBET menjadi perdebatan yang cukup tajam. Meski ada penolakan dari beberapa pihak yang khawatir tentang potensi dominasi asing, Surya Darma dari ICRES menilai bahwa skema ini akan lebih bermanfaat bagi Indonesia, khususnya dalam mendorong transisi ke energi terbarukan dan mendukung pengembangan kapasitas energi nasional. Namun, keputusan akhir mengenai skema ini akan sangat bergantung pada kesepakatan antara pemerintah dan parlemen yang belum tercapai hingga saat ini. (Zan)