JagatBisnis.com – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa Indonesia tidak akan sembarangan mengekspor listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) ke Singapura tanpa adanya manfaat yang setimpal bagi Indonesia.
Pernyataan tersebut memicu beragam tanggapan dari berbagai pihak, termasuk Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) dan para pakar. AESI menilai bahwa kepastian ekspor listrik hijau ke Singapura sangat penting untuk memberikan keyakinan kepada investor yang terlibat dalam sektor energi terbarukan.
Ketua Umum AESI, Mada Ayu Habsari, menyampaikan bahwa salah satu anggota asosiasi mereka kini menunggu keputusan terkait ekspor listrik hijau. Menurutnya, selama kesepakatan yang dibuat saling menguntungkan, proyek ini seharusnya didorong untuk segera direalisasikan. “Dari sisi investasi, tentu investor akan mempertanyakan kapan proyek ini akan dilaksanakan, karena MoU dengan Energy Market Authority (EMA) Singapura sudah dilakukan. Untuk itu, sebaiknya segera diputuskan bagaimana kelanjutan dari proses penjualan listrik ini agar investor mendapatkan kepastian,” ujarnya.
Mada juga menilai bahwa ekspor listrik hijau memiliki potensi positif dan negatif. Di satu sisi, jika Indonesia dapat menciptakan permintaan dalam negeri, maka bauran energi bersih di Indonesia akan meningkat. Selain itu, pasar energi terbarukan dalam skala besar akan mendorong industri Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dalam negeri untuk berkembang lebih pesat.
Sebelumnya, dalam acara Mandiri Investment Forum pada 11 Februari 2025, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa meskipun dirinya tidak menentang ekspor listrik hijau ke Singapura, Indonesia harus mendapatkan keuntungan yang seimbang. “Saya bilang, ‘Saya akan kirim. Kita bersahabat kok. Saking baiknya kita, kita dukung terus Singapura.’ Sekarang kita mau tanya, kapan dia dukung kita?” ujar Bahlil.
Bahlil juga menyebutkan bahwa selain rencana ekspor listrik hijau, Singapura ingin memanfaatkan fasilitas carbon capture and storage (CCS) di Indonesia untuk menyimpan emisi dari industrinya. Namun, ia menegaskan bahwa kerja sama ini harus adil dan saling menguntungkan. “Oke, saya setuju, tetapi saya tanya, Anda kasih Indonesia apa? Jangan hanya meminta tanpa memberi tahu apa yang akan Anda berikan pada kami,” kata Bahlil.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, penjualan listrik ke Singapura sebenarnya sudah disepakati oleh kedua negara sejak masa pemerintahan Jokowi. Ia menilai ini adalah kesepakatan ekonomi yang perlu dihargai dan merupakan bagian dari perjanjian perdagangan. Fabby juga menyebutkan bahwa Indonesia bisa mendapatkan berbagai manfaat, seperti pendapatan dari kontrak jangka panjang, pajak dari perusahaan joint venture (JV) Indonesia, serta investasi untuk pengembangan industri energi terbarukan.
Namun, Fabby juga mengingatkan bahwa ketidakpastian keputusan dari Menteri ESDM bisa meningkatkan risiko investasi dan merugikan Indonesia. Terlebih lagi, Indonesia berpotensi kehilangan investasi di sektor teknologi energi terbarukan, seperti sel surya dan baterai.
Sementara itu, Bhima Yudhistira dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menilai bahwa kebijakan ekspor listrik perlu dikaji lebih dalam, mengingat Indonesia masih memiliki bauran energi terbarukan yang rendah. “Jika Indonesia terburu-buru mengekspor listrik ke Singapura, ini bisa berisiko karena kita masih membutuhkan tambahan 75 gigawatt energi terbarukan untuk kebutuhan domestik,” kata Bhima.
Bhima juga menyoroti potensi risiko terkait proyek CCS yang akan dikembangkan Singapura di Indonesia, yang bisa menjadikan Indonesia sebagai tempat penyimpanan emisi karbon dari negara maju. Risiko lingkungan, terutama di wilayah rawan gempa, menjadi hal yang perlu dipertimbangkan dengan matang.
Selain itu, Bhima mempertanyakan apakah proyek PLTS untuk ekspor akan memberi manfaat bagi industri dalam negeri. Ia menekankan perlunya transfer teknologi dan keterlibatan industri Indonesia dalam produksi komponen PLTS, agar proyek ini memberikan keuntungan lebih bagi ekonomi domestik.
Meskipun begitu, Bhima juga mengakui potensi manfaat ekspor listrik ke Singapura, seperti pemasukan devisa yang dapat memperkuat nilai tukar rupiah. Jika dilakukan dengan negosiasi yang baik, surplus listrik dari proyek ini bisa dialokasikan untuk kebutuhan domestik, khususnya di Sumatra, yang dapat mendukung pertumbuhan kawasan ekonomi.
Proyek ekspor ini masih berada dalam tahap penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dan belum sampai pada tahap kontrak. Oleh karena itu, Bhima menekankan bahwa renegosiasi masih memungkinkan jika Indonesia merasa belum mendapatkan manfaat yang seimbang.
Sebelumnya, pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan bahwa Indonesia berencana mengekspor listrik hijau ke Singapura dengan kapasitas mencapai 3 gigawatt, senilai US$ 30 miliar atau sekitar Rp 308 triliun. Listrik hijau ini berasal dari pembangkit energi terbarukan di Kepulauan Riau dan dijadwalkan untuk diekspor antara tahun 2027 hingga 2035.
Kelima perusahaan yang telah mendapatkan izin bersyarat untuk mengimpor listrik rendah karbon dari Indonesia ke Singapura melalui Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) adalah: Pacific Medco Solar Energy, Adaro Solar International, EDP Renewables APAC, Vanda RE, dan Keppel Energy. (Hky)