JagatBisnis.com – Kinerja emiten baja di Indonesia diproyeksikan akan semakin tertekan pada tahun 2025 akibat diberlakukannya tarif perdagangan baru oleh Amerika Serikat (AS). Presiden AS, Donald Trump, dijadwalkan untuk mengumumkan tarif baru sebesar 25% untuk semua impor baja dan aluminium ke AS pada Senin (10/2).
Harga Baja Global Menurun Harga baja global saat ini menunjukkan tren penurunan. Mengutip Trading Economics, harga baja berada pada level CNY 824 per ton, yang mengalami penurunan 0,91% secara year to date (YTD) dan terkoreksi 15,92% dalam setahun terakhir. Sementara itu, harga baja HRC tercatat di US$ 750,05 per ton, turun 5,65% dalam setahun terakhir, meski naik 5,79% YTD.
Dampak terhadap Emiten Baja di Indonesia PT Steel Pipe Industry of Indonesia Tbk (ISSP) mengakui bahwa industri baja di hulu telah lama dilanda masalah oversupply, yang menyebabkan harga baja terkoreksi. Meskipun begitu, baja dari China sudah lama tidak masuk ke AS, sehingga kebijakan tarif baru ini tidak akan terlalu berdampak signifikan pada kinerja ISSP. Johannes Edward, Corporate Secretary & Investor Relations ISSP, menyebutkan bahwa porsi ekspor ISSP hanya 5%-7%, sehingga dampaknya relatif kecil.
Harga acuan domestik ISSP, yang mengikuti harga baja HRC dari China, tercatat berada di kisaran Rp 15.000 – Rp 30.000 per kilogram.
Tarif Impor AS Berisiko Menekan Kinerja Emiten Baja Analis dari Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, mengungkapkan bahwa tarif impor baja AS sebesar 25% akan berdampak negatif terhadap kinerja emiten baja yang memiliki eksposur ekspor ke AS. Perusahaan-perusahaan ini harus meningkatkan penjualan di pasar domestik, dengan sektor infrastruktur menjadi salah satu pendorong utama penjualan baja. Meski bukan prioritas, pembangunan infrastruktur di Indonesia masih berlanjut, memberikan peluang bagi emiten baja.
Selain itu, emiten baja dapat mencari pasar ekspor alternatif, seperti India dan negara-negara ASEAN, untuk memperbaiki kinerja mereka. Namun, sentimen negatif yang dominan di industri baja saat ini juga tercermin dalam pergerakan saham emiten baja. Saham ISSP turun 6,72% YTD dan terkoreksi 10,07% dalam enam bulan terakhir, sementara saham PT Gunung Raja Paksi Tbk (GGRP) turun drastis hingga 27,07% YTD dan amblas 67,93% dalam enam bulan terakhir.
Prospek 2025: Volatilitas dan Ketidakpastian Prospek industri baja di 2025 masih dibayangi oleh volatilitas harga global, penurunan permintaan, dan fluktuasi biaya bahan baku. Meskipun ada potensi sentimen positif dari proyek infrastruktur domestik dan kebijakan proteksi terhadap impor baja, kondisi ini tidak cukup untuk mengangkat kinerja sektor baja secara signifikan dalam waktu dekat.
Namun, jika permintaan baja global pulih dan harga baja stabil, ada kemungkinan kinerja emiten baja akan membaik di masa depan. Para analis, termasuk Miftahul Khaer dari Kiwoom Sekuritas dan Herditya Wicaksana dari MNC Sekuritas, menyarankan untuk “wait and see” terhadap saham emiten baja, mengingat ketidakpastian yang masih melingkupi sektor ini. (Hky)