JagatBisnis.com – Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia mendesak agar segera dilakukan revisi harga batubara dalam kebijakan Domestic Market Obligation (DMO). Ia menyebutkan bahwa saat ini sektor pertambangan batubara dihadapkan pada sejumlah tantangan yang memengaruhi biaya produksi.
Menurut Hendra, peningkatan produksi batubara disebabkan oleh inflasi rata-rata 5 persen per tahun, serta kenaikan berbagai biaya operasional seperti biaya pengupasan dan disposal overburden, biaya bahan bakar, dan komponen impor alat berat. Selain itu, sektor ini juga terbebani oleh kenaikan tarif royalti yang mulai berlaku pada 2022. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2022, tarif royalti batubara Indonesia mengalami kenaikan menjadi 4–13,5%.
“Beban industri batubara juga semakin berat dengan adanya kenaikan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), kewajiban penempatan Devisa Hasil Ekspor (DHE), dan kewajiban penggunaan B40,” ujar Hendra.
Hendra juga menambahkan bahwa penggunaan B40 pada alat pertambangan akan memengaruhi biaya perawatan alat jangka panjang, karena peningkatan kadar FAME dalam biodiesel dapat memperburuk kondisi maintenance alat.
Sejak pertama kali diterapkan pada 2018, harga batubara untuk DMO tidak mengalami perubahan, dengan harga maksimal sebesar US$ 70 per ton untuk PLN dan US$ 90 per ton untuk industri. Kebijakan tersebut diatur dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1395 K/30/MEM/2018.
Skema MIP Masih Abu-Abu
Mengenai permintaan revisi harga DMO batubara, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Tri Winarno, sebelumnya menyatakan bahwa perubahan harga akan berdampak pada subsidi listrik di masa depan. Oleh karena itu, saat ini kementerian masih menggodok skema Mitra Instansi Pengelola (MIP) batubara. Tri menjelaskan bahwa meskipun pengusaha wajar mengajukan negosiasi untuk kenaikan harga, keputusan akhir harus tetap mempertimbangkan kebijakan yang merata.
“Permintaan pengusaha untuk harga jual yang lebih tinggi dan harga beli yang lebih murah wajar, tetapi kita harus mencari titik temu yang adil untuk PLN dan kepentingan masyarakat,” jelas Tri.
Namun, Hendra mengungkapkan bahwa IMA belum dilibatkan dalam pembahasan skema MIP secara rinci. Ia khawatir jika skema tersebut belum jelas, bisa jadi biaya produksi batubara akan semakin meningkat, terutama dengan adanya kewajiban DHE yang mengganggu arus kas perusahaan.
“Belum jelas apakah mekanisme pengembalian dana kompensasi batubara melalui MIP dapat dilaksanakan dengan cepat atau justru menambah beban biaya,” ujarnya.
Dengan ketidakpastian tersebut, IMA menekankan pentingnya revisi harga batubara untuk kebijakan DMO agar dapat menyesuaikan dengan kondisi biaya produksi yang terus meningkat. (Mhd)