JagatBisnis.com – Dalam 100 hari pertama kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) berupaya menjalankan berbagai tugas penting, seperti memastikan reformasi birokrasi, memberantas judi online, menyediakan infrastruktur digital, dan mengembangkan talenta kecerdasan buatan (AI) yang kompetitif. Namun, bagi banyak pihak, ada satu masalah fundamental yang harus segera ditangani, yakni penyehatan industri telekomunikasi di Indonesia.
Agung Harsoyo, dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB, berharap Menteri Komdigi, Meutya Viada Hafid, dapat segera menyelesaikan masalah yang telah lama mengemuka—yaitu penyehatan industri telekomunikasi. Meskipun banyak pemangku kepentingan industri telekomunikasi yang tergabung dalam berbagai asosiasi seperti ATSI, Mastel, APJII, Apjatel, Askalsi, Aspimtel, dan ASSI telah memberikan masukan kepada Komdigi, hingga kini usulan-usulan tersebut belum mendapat respons positif.
Agung menggarisbawahi pentingnya langkah-langkah terobosan dari Kementerian Komdigi, salah satunya dengan memberikan insentif bagi industri telekomunikasi. “Minimal, Komdigi dapat segera menentukan harga izin penggunaan spektrum frekuensi radio (IPFR) yang terjangkau bagi industri. Tujuannya agar industri telekomunikasi kembali sehat dan bisa memberikan layanan dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat,” ujarnya dalam keterangan resmi, Sabtu (1/2).
Masalah lain yang masih menjadi perhatian adalah lelang frekuensi. Salah satu frekuensi yang sudah siap dan belum dilelang adalah frekuensi 700 MHz, yang sebelumnya digunakan untuk siaran televisi analog terestrial dan kini akan dialokasikan untuk penyelenggaraan jaringan seluler. Agung berharap agar Komdigi segera melaksanakan lelang frekuensi 700 MHz agar Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dapat segera diterima oleh negara. Sebab, frekuensi 700 MHz sangat penting untuk menambah cakupan dan meningkatkan kualitas jaringan internet 4G atau 5G.
Agung juga menyarankan Komdigi untuk memprioritaskan lelang frekuensi 700 MHz, ketimbang frekuensi 1,4 GHz yang saat ini masih dalam tahap konsultasi publik. “Lelang frekuensi 700 MHz lebih urgent karena ekosistemnya sudah lebih matang dibandingkan dengan 1,4 GHz yang diperkirakan baru akan matang tahun depan,” ujar Agung. Ia juga menekankan pentingnya lelang frekuensi 700 MHz untuk memaksimalkan PNBP dan mendukung perluasan layanan 4G/5G di wilayah-wilayah rural.
Kepada Komdigi, Agung mengingatkan bahwa jika masalah frekuensi tidak segera diselesaikan, Indonesia berpotensi kehilangan peluang besar dalam meningkatkan layanan digital yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi digital. Ia mengingatkan pada pengalaman sebelumnya dengan pengalokasian frekuensi 2,3 GHz pada tahun 2009 untuk layanan broadband wireless access (BWA), yang berujung pada kegagalan dan kerugian bagi negara, karena banyak penyelenggara yang tidak dapat beroperasi dengan baik.
“Pengalokasian spektrum frekuensi radio harus tepat guna dan tepat sasaran agar sektor telekomunikasi dan digital bisa berperan sebagai enabler pertumbuhan ekonomi nasional,” tegas Agung. Ia berharap, melalui langkah-langkah strategis dari Komdigi, industri telekomunikasi Indonesia bisa kembali sehat dan mendukung transformasi digital yang lebih luas di masyarakat. (Hky)