JagatBisnis.com – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaporkan bahwa ada sekitar 31,8 juta hektare kawasan hutan di Indonesia yang telah terdegradasi atau tidak lagi berhutan. Menanggapi hal ini, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Prof. Yanto Santosa, mengusulkan agar kawasan hutan yang sudah rusak ini dimanfaatkan untuk mendukung ketahanan pangan dan energi, terutama dengan penanaman kelapa sawit.
Menurut Yanto, pemanfaatan kawasan hutan yang terdegradasi untuk perkebunan kelapa sawit sejalan dengan rencana Presiden Prabowo Subianto untuk memperluas lahan kelapa sawit di Indonesia. Ia menekankan bahwa kegiatan ini tidak akan dianggap sebagai deforestasi, karena kawasan tersebut sudah mengalami kerusakan sebelumnya. “Saya sangat mendukung pemanfaatan kawasan hutan yang rusak tersebut daripada pemerintah tidak sanggup menghutankan kembali,” ujar Yanto, Sabtu (11/1).
Bukan Deforestasi, Melainkan Pemanfaatan Lahan Terdegradasi
Prof. Yanto menjelaskan bahwa penanaman kelapa sawit di kawasan hutan yang terdegradasi bukanlah tindakan deforestasi. Menurutnya, ini adalah langkah yang lebih bijak untuk mengoptimalkan lahan yang sudah tidak produktif lagi. Ia menyarankan agar sekitar 70% dari kawasan yang terdegradasi dapat ditanami kelapa sawit, sementara sisanya dapat ditanami dengan tanaman hutan unggulan seperti bangkirai, ulin, atau meranti.
“Pemikiran yang mengatakan ini akan mengganggu ekologi kurang tepat, karena ini adalah hutan yang sudah rusak,” tambahnya. Yanto juga mencatat bahwa kelapa sawit, meski berasal dari luar Indonesia, sebetulnya merupakan tanaman yang tumbuh di hutan di tempat asalnya, Afrika. Oleh karena itu, ia mendukung penanaman sawit di kawasan terdegradasi untuk mendukung ketahanan pangan dan energi negara.
Tantangan dalam Replanting Sawit dan Pentingnya Inventarisasi Hutan
Di sisi lain, pengamat lingkungan Petrus Gunarso memberikan pandangan berbeda. Ia mengusulkan agar pemerintah lebih fokus pada program peremajaan sawit rakyat (PSR) sebagai solusi untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit, yang masih terbilang rendah. Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian, produktivitas kebun sawit Indonesia jauh tertinggal dibandingkan Malaysia. Meskipun Indonesia telah melaksanakan program PSR, realisasi program ini sering kali terkendala oleh persoalan legalitas lahan.
Petrus menambahkan bahwa masalah legalitas lahan muncul karena Kementerian Kehutanan masih mengklaim sekitar 65% wilayah Indonesia sebagai kawasan hutan. Hal ini menambah kompleksitas dalam pembahasan tentang perluasan lahan untuk pertanian atau perkebunan. Oleh karena itu, Petrus mengusulkan agar pemerintah, DPR, akademisi, dan masyarakat sipil duduk bersama untuk melakukan inventarisasi hutan nasional dan merancang ulang tata ruang Indonesia yang lebih relevan dengan kebutuhan saat ini.
“Kesepakatan tata ruang baru ini bisa membuka peluang untuk memperluas kawasan untuk pangan, tanaman industri, seperti sawit, sehingga kita tidak bisa dikatakan melakukan deforestasi,” pungkas Petrus.
Dengan adanya perbedaan pandangan ini, isu terkait pemanfaatan lahan terdegradasi untuk perkebunan kelapa sawit dan langkah-langkah untuk meningkatkan produktivitas sawit di Indonesia masih menjadi topik perdebatan yang penting dalam upaya mencapai ketahanan pangan dan energi yang berkelanjutan. (Hky)