MK Tolak Pengujian Materiil Tarif PBJT Jasa Hiburan, Pengusaha Pariwisata Kecewa

MK Tolak Pengujian Materiil Tarif PBJT Jasa Hiburan, Pengusaha Pariwisata Kecewa. foto dok ekon.go.id

JagatBisnis.com – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian materiil terkait tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang dikenakan pada jasa hiburan, seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa. Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa pengenaan tarif PBJT sebesar 40% hingga 75% untuk jasa hiburan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI).

Putusan ini tercantum dalam Putusan No. 32/PUU-XXII/2024 yang menguji Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Dalam perkara ini, pemohon yang terdiri dari beberapa pengusaha yang mewakili enam badan hukum di bidang pariwisata dan hiburan, mengajukan keberatan atas tarif PBJT yang dianggap memberatkan sektor mereka.

Baca Juga :   MK Putuskan Mandi Uap/Spa Tidak Termasuk Jasa Hiburan, Bebas Kenaikan Pajak 40%-75%

Pemohon Keberatan atas Tarif PBJT Khusus

Menurut MK, pemohon yang berasal dari Dewan Pengurus Pusat Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (DPP GIPI) dan beberapa perusahaan hiburan, mempersoalkan tarif PBJT yang diberlakukan khusus untuk jasa hiburan, dengan tarif paling rendah 40% hingga 75%. Para pemohon berharap tarif tersebut tidak diperlakukan secara khusus dan mengkhawatirkan adanya potensi pajak ganda yang dapat merugikan usaha mereka.

Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa frasa mengenai tarif khusus PBJT pada jasa hiburan dalam Pasal 58 ayat (2) UU HKPD tidak melanggar UUD NRI seperti yang didalilkan oleh pemohon. Oleh karena itu, permohonan para pemohon dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

Baca Juga :   Ini yang Terjadi jika MK Putuskan Pemilu Jadi Proporsional Tertutup

Dampak Terhadap Industri Pariwisata

Sebagai informasi, permohonan ini diajukan oleh pengusaha yang bergerak di sektor pariwisata dan hiburan, yang merasa dirugikan oleh ketentuan tarif PBJT yang dinilai terlalu tinggi. Para pemohon mengklaim bahwa tarif yang ditetapkan sebesar 40% hingga 75% akan memberatkan usaha mereka, mengingat dampak ekonomi yang besar bagi sektor tersebut, terutama pasca pandemi.

Meski MK telah menolak permohonan tersebut, perdebatan mengenai keberlanjutan tarif PBJT khusus untuk sektor hiburan kemungkinan akan terus menjadi sorotan, terutama di kalangan pelaku usaha yang merasa tarif ini dapat menghambat pemulihan industri pariwisata dan hiburan di Indonesia.

Baca Juga :   PT GKP Dinilai Keliru Tafsirkan Putusan MK Nomor 35/PUU-XXI/2023, Pakar Hukum: "Putusan MK Tidak Menghapus Hak Konsumen"

Keputusan MK yang Mengikat

Dengan putusan ini, MK menguatkan posisi tarif PBJT atas jasa hiburan yang ditetapkan dalam UU HKPD, dan memutuskan bahwa pengaturan tarif tersebut sah secara konstitusional. Bagi pelaku usaha di sektor hiburan, keputusan ini menjadi tantangan baru dalam menghadapi biaya operasional yang terus meningkat akibat tarif pajak yang tinggi. (Mhd)