JagatBisnis.com – Penurunan harga batu bara kalori rendah memberikan dampak signifikan bagi produsen batu bara di Indonesia, termasuk perusahaan-perusahaan besar seperti PT Bumi Resources Tbk (BUMI) dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA). Harga batu bara dengan nilai kalori 3.400 kcal/Kg GAR pada pekan lalu tercatat hanya sebesar US$ 30,9 per ton, mendekati biaya produksi yang dibutuhkan oleh beberapa produsen batu bara di Indonesia.
Penurunan harga ini dipicu oleh beberapa faktor utama, seperti kelebihan pasokan, lemahnya permintaan global, serta kondisi ekonomi dan geopolitik yang tidak menentu. Meskipun harga batu bara kalori rendah ini umumnya diekspor ke pasar global seperti China, India, dan negara-negara lain yang mengutamakan bahan bakar dengan biaya rendah, dampaknya tetap terasa besar bagi produsen di Indonesia.
Penyebab Penurunan Harga Batu Bara Kalori Rendah
Direktur & Sekretaris Perusahaan Bumi Resources, Dileep Srivastava, menjelaskan bahwa penurunan harga batu bara kalori rendah disebabkan oleh kelebihan pasokan yang terus meningkat, lemahnya permintaan dari pasar, serta kondisi geopolitik dan ekonomi yang tidak menentu. Hal ini berimbas langsung pada margin laba perusahaan, yang semakin tertekan karena harga jual yang hampir setara dengan biaya produksi.
“Kelebihan pasokan dan lemahnya permintaan, terutama dari Eropa yang mengalami cuaca lebih hangat, mengurangi konsumsi batu bara, ditambah dengan masa liburan yang memperburuk situasi,” kata Dileep. Ia juga menambahkan bahwa persaingan antara produsen batu bara semakin ketat, mengingat adanya pemain baru dan peningkatan produksi batu bara Indonesia.
Sebagai langkah adaptasi, BUMI mengutamakan efisiensi operasional. Perusahaan fokus pada pengurangan biaya produksi untuk tetap bersaing meskipun harga terus merosot.
Respons Strategis PT Bukit Asam
Sementara itu, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) yang juga memproduksi batu bara kalori rendah, melihat penurunan harga ini sebagai tantangan besar. Sekretaris Perusahaan PTBA, Niko Chandra, mengungkapkan bahwa penurunan permintaan global, terutama dari negara-negara konsumen utama seperti China dan India, menjadi faktor utama. Negara-negara tersebut mulai mengurangi impor batu bara kalori rendah karena oversupply domestik dan upaya transisi energi yang semakin gencar.
Niko juga menyoroti kelebihan pasokan dari negara-negara produsen utama, termasuk Indonesia, yang terus memproduksi batu bara meskipun permintaan menurun, menciptakan ketidakseimbangan pasar. Selain itu, perubahan kebijakan energi di negara-negara maju, khususnya di Eropa, yang mulai mengurangi ketergantungan pada energi fosil, turut memengaruhi permintaan batu bara.
Langkah PTBA Menghadapi Penurunan Harga Batu Bara
Menanggapi penurunan harga ini, PTBA telah mempersiapkan strategi jangka panjang dengan mengoptimalkan kinerja penjualan ekspor ke negara-negara yang masih membutuhkan batu bara sebagai sumber energi utama, seperti di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Selain itu, PTBA fokus pada efisiensi biaya, yang tercermin dalam penurunan biaya produksi per ton dalam dua tahun terakhir.
“Strategi kami adalah mengoptimalkan proses produksi menggunakan digitalisasi untuk meningkatkan produktivitas, serta mengendalikan biaya produksi dan non-produksi tanpa mengorbankan kualitas atau keselamatan,” tambah Niko.
Secara keseluruhan, baik BUMI maupun PTBA, dua pemain utama dalam industri batu bara Indonesia, menghadapi tantangan besar akibat penurunan harga batu bara kalori rendah. Namun, kedua perusahaan ini telah mengambil langkah-langkah strategis untuk bertahan dan beradaptasi dengan kondisi pasar yang terus berubah. (Hky)