JagatBisnis.com – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperkirakan bahwa tahun 2024 akan menjadi periode yang penuh tantangan bagi pelaku usaha di sektor manufaktur Indonesia. Prediksi ini muncul seiring dengan tren pelemahan kinerja industri manufaktur nasional yang telah berlangsung beberapa bulan terakhir.
Menurut data dari S&P Global, Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia menunjukkan penurunan sejak Maret 2024. Pada Juli 2024, PMI manufaktur Indonesia terjun ke zona kontraksi di level 49,3, yang menjadi kali pertama industri manufaktur Indonesia mengalami kontraksi setelah 34 bulan berturut-turut berada di zona ekspansi. Meskipun ada sedikit perbaikan pada November 2024 dengan PMI tercatat di angka 49,6, angka ini masih berada di zona kontraksi.
Ketua Apindo, Shinta W. Kamdani, menjelaskan bahwa lesunya industri manufaktur disebabkan oleh ketidakpastian kondisi geopolitik global dan pelemahan ekonomi yang menimbulkan berbagai tekanan. Tekanan tersebut memengaruhi kinerja industri, baik dari sisi inflasi biaya maupun permintaan ekspor yang rendah. Selain itu, transisi politik dalam negeri turut menciptakan ketidakpastian dalam iklim usaha.
“Secara umum, tidak memungkinkan bagi Indonesia untuk menciptakan stimulus-stimulus produktif yang dibutuhkan pelaku usaha manufaktur untuk meningkatkan kinerja di tengah tekanan yang ada,” ujar Shinta.
Apindo juga mengungkapkan bahwa sektor-sektor padat karya, seperti tekstil dan produk tekstil (TPT), diperkirakan akan merasakan dampak paling berat pada tahun 2024. Sektor ini, yang telah menghadapi tantangan selama 10 tahun terakhir, kesulitan bersaing dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara terkait iklim usaha dan investasi.
Shinta menilai bahwa permasalahan daya saing sektor manufaktur, khususnya sektor padat karya, tidak hanya disebabkan oleh tingginya biaya ketenagakerjaan yang semakin mahal namun tidak sebanding dengan keterampilan tenaga kerja. Selain itu, lambatnya adopsi teknologi baru yang dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas juga menjadi faktor yang memperburuk daya saing industri.
Beban usaha yang tinggi, seperti biaya energi, suku bunga, logistik, nilai tukar, hingga kebutuhan impor, turut memengaruhi daya saing industri manufaktur di Indonesia. Akibatnya, produk manufaktur Indonesia sering kalah bersaing di pasar ekspor.
Shinta menambahkan bahwa iklim usaha di sektor manufaktur Indonesia tidak cukup mampu bersaing dengan negara-negara di kawasan, sehingga investasi asing langsung (FDI), khususnya di sektor manufaktur canggih yang berbasis pada rantai pasokan global (GVC), enggan untuk berinvestasi atau beroperasi di Indonesia.
Dengan berbagai tantangan yang ada, sektor manufaktur Indonesia dihadapkan pada kebutuhan mendesak untuk berinovasi dan meningkatkan daya saing agar dapat bertahan di tengah kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian. (Mhd)