JagatBisnis.com – Lion Group terus menguatkan posisinya sebagai pemimpin pasar penerbangan domestik Indonesia. Berdasarkan data dari Indonesia National Air Carriers Association (INACA), Lion Air Group, yang meliputi Lion Air, Batik Air, Wings Air, dan Super Air Jet, menguasai 62% pangsa pasar penerbangan domestik Indonesia. Sementara itu, Garuda Indonesia dan Citilink hanya menguasai 27% pangsa pasar. Hal ini menunjukkan dominasi yang sangat kuat dari Lion Group di industri penerbangan nasional.
Dominasi Lebih Dekat dengan Monopoli
Menurut Gatot Rahardjo, seorang Analis Independen Bisnis Penerbangan Nasional, kondisi ini lebih mendekati monopoli daripada oligopoli. Dalam konteks ekonomi, monopoli terjadi ketika satu perusahaan atau kelompok menguasai hampir seluruh pasar, sementara oligopoli terjadi ketika beberapa perusahaan menguasai pasar, tetapi dengan pangsa pasar yang lebih tersebar. Gatot menyebutkan bahwa perbedaan yang sangat besar antara pangsa pasar Lion Group dan Garuda Group membuat kondisi ini lebih menyerupai monopoli.
Dalam pandangan konsumen, kondisi ini menciptakan kesulitan dalam memperoleh pilihan yang kompetitif, sehingga konsumen tidak dapat berharap banyak terhadap penurunan harga tiket. Meskipun demikian, Gatot menjelaskan bahwa harga tiket pesawat tidak hanya dipengaruhi oleh struktur pasar, tetapi juga oleh biaya operasional yang tinggi, seperti harga bahan bakar pesawat (avtur) dan pajak bandara, yang turut berkontribusi pada harga tiket yang tetap mahal.
Dilema Garuda dan Peran Pemerintah
Di sisi lain, Garuda Group, meskipun merupakan pesaing utama Lion Group, menghadapi dilema yang rumit. Sebagian besar saham Garuda dimiliki oleh pemerintah, namun keberadaan saham swasta dalam status IPO membuat Garuda tidak sepenuhnya dapat dijadikan alat kebijakan negara. Jika Garuda sepenuhnya dimiliki oleh pemerintah, perannya sebagai pesaing utama Lion Group dapat dimanfaatkan untuk menciptakan keseimbangan pasar. Dalam hal ini, pemerintah bisa menggunakan Garuda untuk menyeimbangkan dominasi Lion Group, yang dapat menghasilkan situasi pasar yang mendekati persaingan sempurna.
Dalam kondisi persaingan sempurna, maskapai akan terdorong untuk lebih efisien secara operasional dan menawarkan harga tiket yang lebih kompetitif. Meskipun demikian, Gatot mengingatkan bahwa struktur pasar, baik dalam bentuk monopoli atau oligopoli, bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi harga tiket. Biaya operasional yang tinggi tetap menjadi tantangan utama.
Tantangan Biaya Operasional dan Harga Tiket
Maskapai penerbangan Indonesia, terutama di bawah dominasi Lion Group, menghadapi tantangan besar untuk menurunkan harga tiket tanpa mengorbankan keberlanjutan bisnis mereka. Biaya-biaya operasional, seperti harga bahan bakar dan pajak, terus meningkat, sementara pendapatan maskapai dibatasi oleh tarif batas atas yang ditetapkan oleh pemerintah. Lion Group, dengan skala ekonominya yang besar, mampu mencatatkan efisiensi operasional, namun keterbatasan persaingan berisiko menghambat inovasi dalam layanan dan penetapan harga.
Gatot menegaskan bahwa monopoli atau oligopoli tidak selalu menjadi penyebab utama mahalnya harga tiket, melainkan tingginya biaya operasional yang menjadi penghambat utama. Prinsip ekonomi menunjukkan bahwa keuntungan hanya bisa diperoleh jika pendapatan lebih besar dari biaya. Jika biaya tetap tinggi, maka maskapai akan terpaksa menetapkan harga tiket yang lebih tinggi pula.
Kebutuhan Regulasi yang Efektif
Gatot menyarankan perlunya regulasi yang lebih efektif untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan konsumen dan keberlanjutan industri penerbangan nasional. Tanpa kebijakan yang tepat, dominasi satu kelompok maskapai seperti Lion Group dapat mengurangi daya saing dan pilihan bagi konsumen, sekaligus menyulitkan penurunan harga tiket pesawat.
Dengan situasi yang terus berkembang ini, sektor penerbangan Indonesia menghadapi tantangan besar untuk menciptakan keseimbangan antara efisiensi operasional, keberlanjutan bisnis, dan harga tiket yang terjangkau bagi masyarakat. (Hky)