Transformasi BPDP: Perluasan Fungsi dan Harapan untuk Sektor Perkebunan

Transformasi BPDP: Perluasan Fungsi dan Harapan untuk Sektor Perkebunan. foto dok astra-agro.co.id

JagatBisnis.com – Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengambil langkah signifikan dengan mengubah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menjadi Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP). Langkah ini mencerminkan perluasan fungsi badan tersebut, yang kini tidak hanya mengelola dana dari komoditas kelapa sawit, tetapi juga dari kakao dan kelapa.

Peraturan Presiden yang Mengatur Perubahan

Perubahan ini tertuang dalam Peraturan Presiden No. 132 Tahun 2024 yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 18 Oktober 2024, dua hari sebelum lengser. Dalam peraturan ini, BPDP akan mengumpulkan dana dari pelaku usaha perkebunan, lembaga pembiayaan, masyarakat, dan sumber sah lainnya.

Sumber dana utama dari pelaku usaha akan mencakup pungutan ekspor hasil perkebunan dan iuran. Pungutan ini harus dibayar oleh pelaku usaha yang melakukan ekspor, serta pelaku industri yang menggunakan bahan baku hasil perkebunan. Jika tidak membayar pungutan yang ditentukan, pelaku usaha dapat dikenakan sanksi administratif.

Baca Juga :   Ekspor Sawit Disetop, Petani Jadi Tumbal

Tujuan dan Manfaat Dana yang Dihimpun

Dana yang berhasil dihimpun oleh BPDP akan digunakan untuk berbagai kepentingan, termasuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi, peremajaan perkebunan, serta pembangunan sarana dan prasarana perkebunan. Dengan perluasan ini, diharapkan bahwa sektor perkebunan Indonesia dapat berkembang lebih baik.

Respons dari Pelaku Industri

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, menyambut baik perluasan fungsi BPDP. Namun, dia menekankan pentingnya alokasi dana untuk industri sawit tidak terganggu pasca transformasi. Gapki mencatat bahwa industri sawit memerlukan dana besar, terutama untuk Program Peremajaan Sawit (PSR) dan insentif biodiesel, mengingat meningkatnya konsumsi di pasar domestik.

“Selama pengelolaan dana sawit tidak terganggu, Gapki tidak melihat ancaman signifikan terhadap industri ini,” ujar Eddy. Dia menambahkan bahwa kepastian mengenai skema pungutan ekspor untuk kakao dan kelapa masih perlu dikaji lebih lanjut.

Baca Juga :   9 Juta Hektar Sawit Yang Belum Bayar Pajak Akan Dikejar Dengan Cara Militer Ungkap Luhut

Tantangan yang Dihadapi Sektor Sawit

Industri sawit saat ini menghadapi tantangan terkait penurunan produksi dan pengorbanan penjualan ekspor demi memenuhi kebutuhan untuk program biodiesel. Data menunjukkan bahwa produksi minyak kelapa sawit (CPO) di Indonesia turun 4,86% year on year (yoy) menjadi 34,52 juta ton hingga Agustus 2024. Untuk memenuhi kebutuhan program B40 pada 2024, pasokan CPO yang dibutuhkan mencapai 14,3 juta ton, yang berpotensi mengorbankan kuota ekspor sebesar 2 juta ton.

Dukungan untuk Komoditas Kakao

Ketua Umum Dewan Kakao Indonesia (Dekaindo), Soetanto Abdullah, juga mendukung pembentukan BPDP yang mencakup komoditas kakao. Dengan adanya BPDP, bea ekspor biji kakao yang selama ini masuk ke APBN kini akan dikelola langsung oleh BPDP untuk program industri kakao.

Dekaindo berharap BPDP dapat fokus mengelola dana dengan baik, memastikan bahwa dana yang dihimpun tepat sasaran untuk peningkatan produksi kakao dalam negeri. “Peningkatan produksi ini sangat penting agar kebutuhan bahan baku industri dalam negeri dapat terpenuhi dan ketergantungan impor berkurang,” tambah Soetanto.

Baca Juga :   Industri Sawit Hadapi Tantangan Ganda di 2024

Produksi Kakao Nasional

Pada tahun 2023, produksi biji kakao nasional tercatat sebanyak 641.700 ton, yang hanya mampu memenuhi 45% kebutuhan kakao nasional. Dekaindo memperkirakan bahwa produksi biji kakao nasional pada 2024 akan meningkat meski Indonesia tetap memerlukan pasokan biji kakao impor.

Kesimpulan

Transformasi BPDP menjadi badan yang lebih inklusif diharapkan dapat mendukung pengembangan sektor perkebunan di Indonesia. Dengan kerjasama antara pemerintah dan pelaku industri, diharapkan dapat tercipta kondisi yang lebih baik untuk semua komoditas yang terlibat, sehingga industri perkebunan dapat tumbuh dan berkontribusi lebih besar terhadap perekonomian nasional. (Hky)