JagatBisnis.com – PT Pertamina Hulu Energi (PHE) baru saja mendapatkan persetujuan untuk mengubah skema kontrak dari gross split menjadi cost recovery untuk tiga Wilayah Kerja (WK) yang dioperasikannya. Tiga WK tersebut adalah Offshore North West Java (ONWJ), Tuban East Java (TEJ), dan Pertamina Hulu Kalimantan Timur (PHKT), yang akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2025. Perubahan ini diharapkan dapat meningkatkan kegiatan investasi dan produksi di wilayah-wilayah tersebut.
Deputi Eksplorasi Pengembangan dan Manajemen Wilayah Kerja SKK Migas, Benny Lubiantara, menjelaskan bahwa migrasi kontrak ini adalah langkah penting untuk memastikan kegiatan investasi seperti pengeboran sumur dan pembangunan fasilitas produksi tetap ekonomis. “Tanpa migrasi ini, tahun depan (2025) terancam terjadi penurunan signifikan dalam kegiatan investasi, yang tentu saja akan berdampak pada produksi,” ungkap Benny.
Dalam evaluasinya, SKK Migas dan Ditjen Migas menemukan bahwa dengan ketentuan yang berlaku saat ini dalam skema gross split, investasi di tahun depan menjadi tidak ekonomis. Bahkan, di beberapa WK, cash flow sudah negatif sejak tahun lalu. “Pelajaran yang didapat dari penggunaan model gross split lama adalah bahwa ketentuan yang ada tidak mendukung kesinambungan investasi,” tambahnya.
Dengan beralih ke skema cost recovery, diharapkan kegiatan pengeboran akan lebih masif, menghasilkan tambahan produksi, serta meningkatkan penerimaan negara. Benny juga menekankan bahwa kontraktor, dalam hal ini PHE, dapat mencapai tingkat keekonomian minimum yang diharapkan.
Perubahan ini menjadi perhatian khusus mengingat Kementerian ESDM baru saja menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 13/2024 mengenai kontrak bagi hasil gross split. Meski demikian, skema gross split baru ini dianggap lebih sederhana dalam pelaksanaannya dan menawarkan keunggulan kompetitif terkait bagi hasil.
Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, sebelumnya menyebutkan bahwa ada lima kontraktor migas yang berencana menggunakan skema gross split baru. Namun, perusahaan mana saja yang akan mengadopsi skema ini masih belum diungkapkan.
Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas), Moshe Rizal, menilai bahwa aturan terbaru skema gross split hanya akan mempermudah proses persetujuan dari Menteri ESDM untuk memberikan split yang lebih besar. “Setiap lapangan memiliki perhitungan dan risikonya sendiri. Jika mereka melihat cost recovery lebih menguntungkan, ya sudah, itu pilihan yang logis,” katanya.
Dalam konteks ini, keunggulan skema gross split adalah pemerintah tidak berbagi risiko biaya produksi dan hanya menerima bagian dari pendapatan kotor penjualan. Sebaliknya, skema cost recovery membagi risiko biaya antara pemerintah dan kontraktor, di mana kontraktor harus menentukan klasifikasi biaya yang ada.
Dengan migrasi ini, PHE berharap untuk memperkuat posisi investasinya dan meningkatkan kontribusi terhadap produksi energi nasional, sekaligus menjaga keseimbangan risiko antara pemerintah dan kontraktor. (Hky)