JagatBisnis.com – Asosiasi konsumen produk tembakau alternatif mengungkapkan kekecewaan terhadap Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang mengatur ketentuan kemasan pada produk tembakau alternatif. Aturan ini merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan 17/2023. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menargetkan penyelesaian aturan ini pada minggu kedua September 2024, sebelum pergantian Menteri.
Kemasan Polos dan Dampaknya
RPMK tersebut mengusung konsep kemasan polos (plain packaging) untuk produk tembakau dan rokok elektronik, yang mengacu pada Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang belum diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Sekretaris Aliansi Vaper Indonesia (AVI), Wiratna Eko Indra Putra, menyatakan bahwa penyusunan PP ini hanya mencerminkan kepentingan sepihak dari sisi kesehatan, tanpa mempertimbangkan aspek pendukung lainnya.
“Pengesahan regulasi ini akan mempersulit akses konsumen dewasa untuk beralih ke produk dengan risiko lebih rendah,” ungkap Wiratna dalam keterangannya, Selasa (17/9). Ia menekankan pentingnya membedakan produk tembakau alternatif dari rokok, berdasarkan kajian ilmiah yang menunjukkan bahwa produk alternatif memiliki profil risiko lebih rendah.
Perlunya Keterlibatan Pemangku Kepentingan
Wiratna juga menekankan pentingnya melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam proses pembentukan regulasi. Ia berpendapat bahwa produk tembakau alternatif dirancang untuk mengurangi risiko kesehatan dan memberikan pilihan yang lebih baik bagi perokok dewasa. “Kita perlu melihat keberhasilan negara-negara maju, seperti Inggris, yang telah berhasil menurunkan angka perokok dengan mendukung produk tembakau alternatif,” ujarnya.
Partisipasi Publik yang Inklusif
Pengamat Kebijakan dari UIN Syarif Hidayatullah, Fathudin Kalimas, menyoroti pentingnya partisipasi publik yang inklusif dalam penyusunan kebijakan ini. Ia menyatakan bahwa jika pembentukan regulasi tidak melibatkan semua stakeholder, maka legitimasi dan efektivitas aturan tersebut akan terancam. “Prinsip keadilan dalam pembentukan peraturan harus mencerminkan berbagai kepentingan yang ada,” tegas Fathudin.
Fathudin juga mengingatkan bahwa PP 28/2024 dapat berdampak negatif pada kelangsungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta sektor kreatif lainnya. Ia berpendapat bahwa kebijakan ini berpotensi menggerus sektor-sektor tersebut, yang bertentangan dengan semangat pemerintah untuk mendorong pertumbuhan UMKM.
Kesimpulan
Kedua narasumber sepakat bahwa regulasi terkait produk tembakau alternatif harus mempertimbangkan aspek kesehatan dan ekonomi secara seimbang. Keterlibatan aktif dari semua pihak, termasuk konsumen, produsen, dan peneliti, sangat penting untuk menciptakan kebijakan yang efektif dan adil. Dengan pendekatan yang lebih inklusif, diharapkan pemerintah dapat menyusun regulasi yang tidak hanya menjaga kesehatan masyarakat, tetapi juga mendukung pertumbuhan sektor ekonomi yang lebih luas. (Hky)