Kebutuhan dan Tantangan Baru
Dengan penerapan B40, kebutuhan CPO diperkirakan meningkat dari 13,4 juta kilo liter (KL) yang dibutuhkan untuk B35, menjadi 16 juta KL. Eddy Abdurrachman, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), mengonfirmasi bahwa uji coba untuk B40 telah selesai dilakukan baik pada sektor otomotif maupun non-otomotif. Namun, tantangan besar menanti industri sawit, terutama dalam hal peningkatan produksi.
“Untuk B40, pemerintah telah menetapkan pelaksanaan mulai Januari tahun depan. Uji coba sudah dilakukan dan hasilnya memuaskan,” ujar Eddy dalam peluncuran buku Sawit, Anugerah yang Perlu Diperjuangkan di Jakarta Selatan pada Kamis (5/9).
Kesiapan Industri Sawit
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki), Eddy Martono, menegaskan bahwa industri sawit masih sanggup memenuhi kebutuhan CPO untuk B40, meskipun dampaknya akan terasa pada kapasitas ekspor. Saat ini, ekspor Indonesia didominasi oleh produk refine palm oil. Dengan penerapan B40, volume ekspor yang sebelumnya mencapai 32 juta ton diprediksi akan berkurang. Penurunan ini berpotensi menaikkan harga minyak nabati dunia, termasuk minyak sawit, yang juga akan mempengaruhi harga minyak dalam negeri.
“Jika pasokan minyak sawit Indonesia berkurang, harga minyak nabati global, termasuk minyak sawit, akan naik. Ini tentu akan mempengaruhi harga minyak domestik kita,” jelas Eddy Martono.
Solusi Melalui Peremajaan Sawit Rakyat (PSR)
Untuk mengatasi potensi penurunan ekspor, Eddy Martono mengusulkan peremajaan sawit rakyat (PSR) sebagai solusi utama. Program Strategis Nasional (PSN) ini diharapkan dapat meningkatkan produktivitas hingga 5 ton CPO per hektar. Dengan total lahan sawit di Indonesia mencapai 16,8 juta hektare, potensi produksi CPO bisa mencapai 81,5 juta ton.
“Jika kita capai target PSR dan produktivitas meningkat menjadi 5 ton per hektar, produksi CPO bisa mencapai 81,5 juta ton dari luas lahan yang ada,” tambah Eddy.
Menyambut B50 dan B60
Ketika Indonesia beralih ke B50, produksi CPO yang dibutuhkan akan meningkat lebih jauh, dan volume ekspor diperkirakan akan turun menjadi sekitar 24 juta ton. Eddy Martono mencatat bahwa dengan kondisi produksi saat ini, penurunan volume ekspor tidak dapat dihindari. Penerapan B60, yang akan memerlukan 24 juta ton CPO, akan semakin menambah tekanan pada industri sawit.
“Penerapan B60 memerlukan tambahan 6 juta ton CPO dibandingkan dengan B50, total kebutuhan menjadi sekitar 24 juta ton. Ini akan memperberat beban industri,” ungkap Eddy.
Kehati-hatian dalam Ekspansi Lahan
Terkait penambahan lahan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyebutkan adanya pengembangan lahan di Papua seluas 300 ribu hektare untuk meningkatkan produksi CPO. Namun, Eddy Martono menyatakan bahwa penambahan lahan tersebut belum cukup untuk memenuhi kebutuhan B60 dan berpotensi menimbulkan masalah baru.
“Penambahan 300 ribu hektare lahan sawit mungkin hanya menambah kapasitas produksi sekitar 1,5 juta ton. Ini belum mencukupi untuk kebutuhan B60,” ujar Eddy.
Dampak pada Pungutan Ekspor
Penurunan volume ekspor juga akan berdampak pada kinerja BPDPKS yang bertugas mengumpulkan dana dari pungutan ekspor CPO. Eddy menekankan bahwa meskipun produksi CPO masih cukup, penurunan ekspor dapat menyulitkan pemerintah dalam mendapatkan modal untuk biodiesel.
“Dana dari pungutan ekspor sangat penting untuk membiayai biodiesel. Jika ekspor turun, siapa yang akan menanggung biaya ini?” tanyanya.
Dengan tantangan yang semakin besar, industri sawit Indonesia harus memanfaatkan strategi yang ada dan mencari solusi inovatif untuk memenuhi target pemerintah sekaligus menjaga stabilitas pasar dan lingkungan. (Zan)