Ekbis  

Industri Keramik Nasional Hadapi Tantangan Serius: Kuota Gas Terbatas dan Persaingan Harga Impor

Industri Keramik Nasional Hadapi Tantangan Serius: Kuota Gas Terbatas dan Persaingan Harga Impor. foto dok industriproperti.com

JagatBisnis.com – Industri keramik nasional tengah menghadapi tantangan berat terkait pemanfaatan gas bumi dengan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT). Ketua Umum Asosiasi Keramik Indonesia (Asaki), Edy Suyanto, mengungkapkan bahwa mulai pertengahan Agustus 2024, sektor industri keramik hanya diizinkan menggunakan gas sebesar 50% dari alokasi yang ditetapkan dalam Kepmen ESDM. Sisanya harus dibayar dengan harga yang sangat tinggi, mencapai US$ 13,85 per MMBTU.

“Yang paling berat, mulai bulan Agustus ini kami hanya diizinkan menggunakan gas sebesar 50 persen dari alokasi yang ditetapkan. Selebihnya, kami harus membayar harga gas yang sangat tinggi,” kata Edy saat pertemuan dengan DPR di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, pada Senin (26/08).

Sejak Februari 2024, Perusahaan Gas Negara (PGN) memberlakukan kuota pemakaian gas, atau Alokasi Gas Industri Tertentu (AGIT), dengan kisaran 60% hingga 70% karena gangguan suplai di sektor hulu. Namun, dengan alokasi yang semakin menurun, Edy menegaskan bahwa kebijakan ini berdampak signifikan terhadap kapasitas dan biaya produksi industri keramik.

Baca Juga :   Ini Harap Asaki Kepada Prabowo-Gibran Soal Keberlanjutan HGBT

“Sejak diberlakukannya kebijakan PGN pada Mei 2024, di mana pemakaian 60% dikenakan biaya US$ 6,5 /MMBTU dan pemakaian di atas itu harus membayar US$ 13,8 /MMBTU, rata-rata industri membayar gas sebesar US$ 8,3 hingga US$ 8,6 /MMBTU. Ini membuat komponen biaya gas dalam produksi keramik meningkat sebesar 33-35%,” tambahnya.

Edy juga mempertanyakan kebijakan penurunan kapasitas penggunaan gas yang dianggap tidak relevan dengan kondisi suplai yang sebenarnya. “Suplai gas di Jawa Timur saat ini sudah surplus. Gas dari Jawa Timur malah ditarik ke Jawa Tengah, sementara pabrik-pabrik di Jawa bagian Barat menghadapi masalah suplai yang serius,” ungkapnya.

Baca Juga :   Ini Harap Asaki Kepada Prabowo-Gibran Soal Keberlanjutan HGBT

Menanggapi situasi ini, Asaki telah mengirimkan beberapa surat keberatan kepada PGN, namun belum ada perubahan signifikan. “Kami sudah beberapa kali mengajukan keberatan dan komplain, namun belum ada respons yang memadai. Kami mendesak adanya transparansi dalam penetapan kapasitas ini,” tegas Edy.

Selain masalah gas, industri keramik domestik juga menghadapi persaingan ketat dengan produk keramik asal China yang dijual dengan harga jauh lebih murah. Hal ini berdampak pada penurunan tingkat utilitas pabrik keramik, yang hanya mencapai 62% pada semester pertama tahun ini, turun dari 69% pada tahun 2023.

Baca Juga :   Ini Harap Asaki Kepada Prabowo-Gibran Soal Keberlanjutan HGBT

“Pada tahun lalu, tingkat utilitas kami mencapai 69%. Namun, pada semester pertama tahun ini, utilitas turun menjadi 62%,” jelas Edy.

Sebagai langkah perlindungan terhadap industri keramik nasional, Edy berharap pemerintah segera menerapkan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk produk keramik dari China. Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah merekomendasikan BMAD sebesar 45% hingga 50%, meskipun angka ini jauh lebih rendah dibandingkan rekomendasi Komisi Anti Dumping Indonesia yang mencapai 199,8%. Asaki sendiri merekomendasikan BMAD sebesar 70%.

“Kami menargetkan penerapan BMAD sebesar 70% dan berharap BMAD ini dapat diberlakukan mulai bulan September mendatang,” pungkas Edy. (Mhd)