Ekbis  

Industri Kaca Menghadapi Krisis Kuota Gas: Implikasi dan Tantangan ke Depan

Industri Kaca Menghadapi Krisis Kuota Gas: Implikasi dan Tantangan ke Depan. foto dok cci-indonesia.com
JagatBisnis.com – Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman Indonesia (AKLP) mengungkapkan bahwa industri kaca saat ini tengah menghadapi pengurangan kuota gas bumi dengan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT), mirip dengan masalah yang dialami industri keramik.

Yustinus Gunawan, Ketua AKLP, menjelaskan bahwa pengurangan kuota gas HGBT yang dialami oleh industri kaca lembaran sama parahnya dengan pengurangan yang diterapkan pada industri keramik. “Pengurangan kuota gas HGBT menjadi USD 6,5/MMBTU untuk industri kaca lembaran sangat mirip dengan pengurangan yang diterima oleh industri keramik,” ujar Yustinus pada Selasa, 27 Agustus.

Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Keramik Indonesia (Asaki), Edy Suyanto, juga mengeluhkan hal serupa. Edy menyebutkan bahwa industri keramik mengalami pengurangan kuota gas bumi HGBT menjadi hanya 50%, padahal Perusahaan Gas Negara (PGN) sebelumnya memberlakukan Alokasi Gas Industri Tertentu (AGIT) sebesar 60% hingga 70% pada Februari 2024. Menurut Edy, PGN telah menginformasikan pengurangan kuota ini kepada anggotanya melalui surat resmi.

Baca Juga :   Penurunan Penerimaan Negara dan Dampak Kebijakan Gas Murah untuk Industri

Dampak pada Industri Kaca

Yustinus Gunawan menambahkan bahwa pengurangan kuota HGBT ini akan berdampak signifikan pada kinerja industri kaca lembaran. “Penurunan kuota gas HGBT akan meningkatkan biaya produksi, yang pada gilirannya akan mengurangi daya saing produk kami. Hal ini berpotensi menyebabkan penurunan pesanan penjualan,” ungkapnya.

Baca Juga :   IPGI Mendesak Pemerintah Evaluasi HGBT

Meski biaya produksi melonjak, Yustinus mengatakan pihaknya enggan menaikkan harga produk jadi karena hal ini dapat memicu lonjakan impor. “Ada risiko besar jika kami menaikkan harga produk, yaitu memancing masuknya barang impor yang lebih murah. Dalam kondisi ekonomi global yang tidak menentu, kami berusaha mempertahankan produksi dan penjualan meskipun hal ini mungkin berdampak pada keuntungan atau bahkan berpotensi merugikan,” jelasnya.

Solusi dan Harapan ke Depan

Yustinus berharap penyerapan HGBT dapat meningkat atau setidaknya mencapai angka 70% tahun ini. “Jika persentase kuota HGBT tetap rendah, perusahaan kami terpaksa harus membeli gas dengan harga yang jauh lebih tinggi dari pasar. Ini disebabkan oleh penggunaan Liquefied Natural Gas (LNG) yang membutuhkan biaya tinggi untuk proses regasifikasi,” tutup Yustinus.

Baca Juga :   SKK Migas Masih Melakukan Evaluasi Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT)

Pengurangan kuota gas ini menimbulkan tantangan besar bagi industri kaca, dan memperkuat urgensi untuk mencari solusi jangka panjang dalam penyaluran energi yang lebih stabil. Di tengah ketidakpastian ekonomi global, industri kaca dan keramik berharap adanya kebijakan yang mendukung untuk menjaga daya saing dan kelangsungan produksi. (Mhd)