JagatBisnis.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima laporan terkait dugaan mark up impor beras sebanyak 2,2 juta ton, yang menyoroti peran Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Perum Bulog sebagai dua lembaga terkait utama. Laporan ini diajukan oleh Studi Demokrasi Rakyat (SDR), yang mengklaim adanya kecurigaan atas praktik tidak teratur dalam penetapan harga beras impor oleh kedua lembaga tersebut.
Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Bapanas, I Gusti Ketut Astawa, menegaskan bahwa Bapanas hanya bertindak sebagai regulator dalam impor beras. “Kami tidak terlibat dalam pelaksanaan atau kontrak impor, yang sepenuhnya merupakan kewenangan Perum Bulog,” ujarnya dalam keterangannya pada Jumat (5/7).
Menurut Gusti, informasi yang diterima dari Bulog menunjukkan bahwa perusahaan asal Vietnam, Tan Long Group, tidak pernah memberikan penawaran harga kepada Bulog seperti yang dituduhkan. Bulog sendiri telah membenarkan bahwa mereka tidak memiliki kontrak dengan perusahaan tersebut untuk impor beras pada tahun ini.
Direktur Supply Chain dan Pelayanan Publik Perum Bulog, Mukhamad Suyamto, menambahkan bahwa Tan Long Group memang terdaftar sebagai salah satu mitra potensial untuk kegiatan impor, namun tidak ada penawaran harga yang diberikan sejak proses bidding tahun 2024. “Tidak ada keterlibatan kontrak impor dengan perusahaan tersebut,” ungkap Suyamto pada Kamis (4/7).
Dalam konteks regulasi, Ketut menjelaskan bahwa Bapanas selalu mengikuti Peraturan Presiden Nomor 66 tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional, yang mengamanatkan prinsip profesionalitas, akuntabilitas, dan kolaborasi dalam setiap tindakan mereka.
SDR, dalam laporannya kepada KPK, mengindikasikan bahwa terdapat selisih harga yang signifikan antara harga penawaran beras asal Vietnam dengan harga realisasi impor yang dilakukan oleh Bulog. Berdasarkan data BPS, harga impor beras mencapai rata-rata US$ 655 per ton, sementara penawaran dari Tan Long Group adalah sekitar US$ 538 per ton, dengan skema FOB, dan US$ 573 per ton, dengan skema CIF.
Hari Purwanto dari SDR memperkirakan ada selisih harga atau mark up sebesar US$ 82 per ton, atau sekitar Rp2,7 triliun jika dikonversikan dengan kurs Rp15.000 per dolar. Namun, Suyamto dan Ketut menegaskan bahwa Bulog telah menjalankan proses impor beras sesuai dengan prosedur yang berlaku dan tanpa keterlibatan dalam praktik mark up harga.
Kasus ini menunjukkan kompleksitas dalam pengelolaan impor beras di Indonesia, serta pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan terkait ketahanan pangan nasional. KPK diharapkan dapat mengusut laporan ini secara menyeluruh untuk memastikan kepatuhan terhadap aturan dan integritas dalam operasional Bapanas dan Bulog. (Hky)