Benarkah TikTok Mata-mata China?

JagatBisnis.com Pekan lalu, CEO TikTok, Shou Zi Chew menghadiri sidang pertama di Kongres AS di tengah desakan untuk melarang aplikasi yang dianggap oleh beberapa pihak sebagai ancaman keamanan nasional. CEO TikTok telah berusaha meyakinkan bahwa aplikasi berbagi video berbasis di China ini aman, meskipun banyak pejabat pemerintah AS, Inggris, Kanada, dan Eropa melarang pengunduhan aplikasi ini di ponsel staf mereka.

Dilaporkan oleh BBC (24/3/2023), China menuduh AS membesar-besarkan ancaman keamanan siber untuk menekan perusahaan yang berkembang pesat ini. Saat ini, ada tekanan untuk menjual TikTok secara paksa ke perusahaan AS atau melarangnya sama sekali karena dugaan bahwa jejaring sosial ini bisa digunakan sebagai alat mata-mata. Pada 2020, TikTok hampir dilarang di AS oleh Presiden saat itu, Donald Trump, tetapi larangan tersebut akhirnya dibatalkan pada tahun 2021 oleh Presiden Joe Biden.

Kini, TikTok kembali menjadi sorotan, dengan jumlah unduhan yang mencapai 3,5 miliar menurut Sensor Tower. Menambahkan ketegangan geopolitik antara China dan negara-negara Barat, masa depan

Baca Juga :   Takut Data Diretas, Pasukan Khusus Inggris Dilarang Pakai TikTok

TikTok kini lebih genting daripada sebelumnya. Terdapat tiga kekhawatiran utama seputar keamanan siber yang terus muncul terkait TikTok, yaitu pengumpulan data yang berlebihan, hubungan dengan pemerintah China, dan kemungkinan penggunaan algoritme sebagai alat pengaruh.

TikTok menyatakan bahwa pengumpulan data mereka sejalan dengan praktik industri, meskipun peneliti dari Internet 2.0 melaporkan bahwa aplikasi tersebut mengumpulkan data dalam jumlah yang berlebihan. TikTok juga menegaskan bahwa mereka sepenuhnya independen dan belum pernah memberikan data pengguna kepada pemerintah China.

Baca Juga :   Guru Indonesia Dilatih Pakai TikTok Buat Mengajar di Masa Pandemi

Kekhawatiran lainnya adalah kemungkinan penggunaan algoritme TikTok sebagai alat pengaruh. Direktur FBI, Christopher Wray, menyatakan pada November 2022 bahwa pemerintah China dapat mengontrol algoritme rekomendasi TikTok. Namun, penelitian dari Citizen Lab menemukan bahwa TikTok tidak menggunakan sensor politik yang sama dengan Douyin, versi aplikasi yang hanya tersedia di China.

Terlepas dari masalah geopolitik yang melibatkan TikTok, aplikasi ini tetap menjadi fenomena yang tidak bisa diabaikan. TikTok tersedia di lebih dari 150 negara, memiliki lebih dari 1 miliar pengguna, dan telah diunduh lebih

dari 210 juta kali di Amerika Serikat saja. Jika audiens target merek mencakup individu berusia antara 13 hingga 60 tahun, menggunakan TikTok dalam strategi pemasaran menjadi langkah penting.

Baca Juga :   TikTok Cari Gamers Terbaik, Siap Guyur Hadiah Rp100 Juta

Sebagai respons terhadap kekhawatiran yang terus muncul, TikTok berupaya meningkatkan transparansi dan keamanan data penggunanya. Perusahaan menegaskan bahwa data pengguna disimpan di AS dan Singapura dan tidak pernah disimpan di China. TikTok juga berencana untuk memproses semua data pengguna Inggris dan UE di Irlandia pada tahun 2024.

Meski menghadapi berbagai ancaman dan desakan, TikTok terus berupaya untuk menjaga kepercayaan penggunanya dan mengatasi masalah keamanan siber yang dituduhkan. Dalam waktu yang akan datang, perusahaan ini akan terus berhadapan dengan tantangan yang kompleks, baik dari pihak pemerintah maupun pengguna, dalam menjaga keberlanjutan platform media sosial mereka.  (tia)

MIXADVERT JASAPRO