Protes COVID-19 di China Meluas Bakal Runtuhkan Rezim?

JagatBisnis.com –  Aksi protes menentang pembatasan COVID-19 di China berubah menjadi gelombang pembangkangan sipil terbesar sejak Presiden Xi Jinping memulai kekuasaannya satu dekade lalu. Protes ini berubah menjadi tuntutan mendasar perubahan politik, bahkan pengunduran diri Xi Jinping.

Pemicu protes adalah kebakaran pekan lalu di Urumqi, ibu kota wilayah Xinjiang, China barat laut, yang menurut pihak berwenang menewaskan 10 orang. Beberapa pengguna internet mengatakan tindakan penguncian COVID-19 menghambat upaya penyelamatan di gedung yang terbakar itu. Para pejabat sendiri telah membantahnya.

Gelombang kemarahan kemudian muncul dengan aksi unjuk rasa turun ke jalan-jalan kota di seluruh negeri pada Minggu (27/11/2022). Para demonstran mengatakan pembatasan COVID-19 harus disalahkan karena menghambat upaya penyelamatan.

Massa protes di di Shanghai dalam aksinya itu meneriakkan, “Cabut lockdown untuk Urumqi, cabut lockdown untuk Xinjiang, cabut lockdown untuk seluruh China!” Namun, kemudian sekelompok besar massa mulai berteriak, “Gulingkan Partai Komunis China, gulingkan Xi Jinping, bebaskan Urumqi!”

Baca Juga :   2 Pasien di Cianjur Meninggal Dunia karena COVID-19

Para demonstran juga mengacungkan kertas putih kosong, melambangkan sistem sensor yang terlampau ketat di China. Mobil-mobil yang melintas membunyikan klakson, tanda dukungan bagi para demonstran.

Kepemimpinan negara itu menghadapi protes besar yang belum pernah terjadi dalam beberapa dekade. Kemarahan atas penguncian yang tak henti-hentinya memicu frustrasi yang mengakar pada sistem politik negara itu secara keseluruhan. Kemarahan meluas menjadi seruan untuk perubahan politik.

Aksi protes ini terjadi ketika jumlah kasus COVID-19 mencapai rekor tertinggi harian dan sebagian besar kota menghadapi penguncian baru. Per Minggu lalu, China melaporkan 40.052 kasus lokal baru COVID-19, di mana 3.748 di antaranya bergejala dan 36.304 tidak bergejala. Kondisi pandemi COVID-19 yang kembali mengkhawatirkan membuat pemerintah China terus memberlakukan kebijakan ‘Zero COVID’.

Baca Juga :   SMP di Purbalingga PTM Tanpa Izin, Ganjar: Bubarkan

Keluhan tentang kontrol COVID-19 terutama tentang penerapannya yang tidak fleksibel menjadi topik yang diangkat dalam aksi tersebut. Masalah yang disorot oleh publik tidak ditujukan pada pencegahan dan pengendalian epidemi itu sendiri, tetapi fokus pada penyederhanaan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian.

Namun, lockdown telah memperburuk pelambatan paling tajam dalam pertumbuhan yang dialami China dalam beberapa dekade, juga mengganggu rantai pasokan global dan pasar keuangan yang bergolak. Ini yang menurut warga mengganggu kehidupan perekonomiam mereka.

“Kebijakan (nol-COVID) sekarang? Mereka terlalu ketat. Mereka membunuh lebih banyak orang daripada COVID,” kata seorang pejalan kaki berusia 17 tahun yang tidak mau disebutkan namanya.

Baca Juga :   Pasien COVID-19 di RS Fatmawati Turun

Sepanjang Senin (28/11/2022), wartawan AFP melihat petugas menahan empat orang, kemudian membebaskan satu orang, dengan seorang reporter menghitung 12 mobil polisi dalam jarak 100 meter di sepanjang jalan Wulumuqi di Shanghai, titik fokus unjuk rasa hari Minggu.

Di Hong Kong yang semi-otonom, tempat protes demokrasi massal meletus pada 2019, puluhan orang berkumpul di Universitas China untuk meratapi para korban kebakaran Urumqi. “Jangan berpaling. Jangan lupa,” teriak pengunjuk rasa.

Di Hangzhou, lebih dari 170 kilometer barat daya Shanghai, terjadi pengamanan ketat dan protes sporadis di pusat kota, dengan seorang peserta mengatakan kepada AFP bahwa 10 orang ditahan. “Suasananya kacau. Orangnya sedikit dan kami terpisah. Polisinya banyak, ricuh,” katanya.(tia)

MIXADVERT JASAPRO