Inggris Tidak akan Gelar Pemilu di Irlandia Utara

JagatBisnis.com – Inggris tidak akan mengadakan pemilihan baru di Irlandia Utara sebelum akhir tahun. Pernyataan ini ditegaskan pada Jumat (4/11).

Kebijakan lanjutan dari Inggris terhadap negara tersebut baru akan diumumkan pada pekan depan. Reuters melaporkan, Irlandia Utara tidak memiliki pemerintahan sejak Februari.

Kebuntuan ini terjadi setelah Partai Persatuan Demokratik (DUP) yang pro-Inggris memboikot majelis regional sebagai protes atas peraturan perdagangan pasca Brexit.

Baca Juga :   Inggris, Negara Pertama Pakai Obat Anti-Covid Buatan Merck

Brexit merujuk pada keluarnya Inggris dari Uni Eropa pada 2020. Keputusan itu meletuskan perdebatan tentang perbatasan antara Irlandia dan Republik Irlandia yang merupakan wilayah Inggris.

Boikot tersebut menyebabkan kebuntuan politik sampai saat ini. Pemilu yang menempatkan Sinn Fein sebagai pemegang kursi terbanyak pun tidak dapat memecahkan kebuntuan politik pada Mei.
Untuk itu, pemerintah Inggris dibebankan kewajiban untuk mengulang pemilihan setelah 24 minggu. Namun, tenggat waktu pelaksanaan pemilihan ini telah berakhir pada Kamis (27/10).

Baca Juga :   Inggris Akan Berlakukan Undang-undang Anti-BDS Jika Israel Bersikeras Lindungi Rejim Zionis

Terlepas dari tenggat waktu tersebut, Menteri Inggris untuk Irlandia Utara, Chris Heaton-Harris mengatakan, dirinya tetap memiliki kewajiban untuk mengadakan pemilihan baru di wilayah tersebut.

“Minggu depan saya akan membuat pernyataan di parlemen untuk menjabarkan langkah saya selanjutnya,” kata Heaton-Harris.

Optimisme Heaton-Harris ditujukan ketika partai politik utama Irlandia Utara meragukan bahwa pemilihan mendatang akan membawa perubahan bagi wilayah tersebut.

Baca Juga :   Rishi Sunak Resmi Dilantik jadi PM Inggris

Di satu sisi, Heaton-Harris telah mengadakan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Irlandia Simon Coveney untuk membicarakan perubahan undang-undang yang dapat menunda pemilihan.

Berdasarkan perjanjian damai Jumat Agung 1998 yang mengakhiri tiga dekade pertumpahan darah di wilayah itu, nasionalis dan unionis wajib berbagi kekuasaan dalam pemerintahan lintas komunitas.

Namun, pada kenyataanya, majelis regional gagal melakukan hal ini. (tia)

MIXADVERT JASAPRO