Soal Nikah Beda Agama, Pakar Hukum: Nabrak Undang-undang

Ilustrasi pernikahan

JagatBisnis.com  – Keputusan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang mengabulkan permohonan pernikahan beda agama pasangan suami istri (pasutri) beragama Islam dan Kristen, menuai pro dan kontra. Djuan Siswanto S.H, M.H, Wakil Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Surabaya pun turut angkat bicara.

Djuan menilai keputusan PN Surabaya tersebut sebagai tindakan yang menabrak Undang-undang. Secara yuridis formal, perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Kedua produk perundang-undangan ini mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan termasuk perkawinan antar agama. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1) disebutkan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
“Jadi itu sudah jelas. Dalam agama Islam juga jelas bahwa pernikahan dengan non Islam tidak bisa, tidak dibolehkan,” tegas Djuan, saat dihubungi Basra, Kamis (23/6).

Djuan menduga keputusan PN Surabaya tersebut berpijak pada peraturan perkawinan campuran pada masa lampau yang disebut GHR atau Regeling op de Gemengde Huwelijk stbl. 1898 nomor 158. Dalam Pasal 1 GHR ini disebutkan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan.

Baca Juga :   Miris, PN Surabaya Perbolehkan Nikah Beda Agama

“Keputusan pengadilan itu nabrak Undang Undang yang jelas-jelas diatur oleh negara. Malah kalau tidak salah ada Surat Edaran Mahkamah Agung no 30 tahun 2019 itu dimana perkawinan campuran tidak diakui oleh negara. Kok lucu hakim itu tidak berpijak pada institusinya. Bisa cek itu (Surat Edaran Mahkamah Agung), kalau saya tidak salah ingat nomor suratnya 231 tahun 2019,” jelasnya.

Terkait alasan pertimbangan hakim atas keputusan tersebut, salah satunya adalah karena ada kekosongan hukum terkait pernikahan beda agama, Djuan tegas membantahnya.

“Itu cari celah, kekosongan hukum gimana wong sudah diatur jelas dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 kok. Kalau misalnya ada yang berpandangan bahwa itu (pernikahan beda agama tidak diperbolehkan melanggar hak asasi) ya jelas nggak lah. Karena semua hak asasi masing-masing manusia tidak dirugikan maka diaturlah oleh Undang-undang dan kita kewajibannya tunduk pada undang-undang yang berlaku. Itu pandangan saya,” paparnya.

Baca Juga :   Miris, PN Surabaya Perbolehkan Nikah Beda Agama

Djuan menilai keputusan PN Surabaya tersebut cukup kontroversi yang merugikan kepentingan masyarakat sekaligus keresahan di kalangan masyarakat.

“Cukup meresahkan itu karena di Islam sudah jelas (pernikahan beda agama tidak diperbolehkan). Di Nasrani juga sudah jelas,” tandasnya.

Karena pernikahan beda agama sudah diatur Undang-undang, lanjut Djuan, maka selama ini warga yang menikah beda agama memilih untuk menikah di luar negeri. Dan yang paling sering terjadi adalah mereka yang menikah beda agama memilih untuk mengikuti salah satu agama dari pasangannya untuk pencatatan di kantor catatan sipil.

Djuan menegaskan kantor catatan sipil hanya sekedar mencatat pernikahan bukan mengesahkannya.

Baca Juga :   Miris, PN Surabaya Perbolehkan Nikah Beda Agama

“Kantor catatan sipil itu kan mencatat tidak mengesahkan. Terus dicatat tok la’an dan nggak sah podo ae (hanya dicatat saja tapi tidak sah kan sama saja). Kan harus berdasarkan ketentuan agama masing-masing (untuk sah tidaknya),” tukasnya.

Meski PN Surabaya telah mengabulkan permohonan pernikahan beda agama, namun Djuan menuturkan nantinya pernikahan beda agama tetap tidak diperbolehkan.

“Negara dalam hal ini Mahkamah Agung harus bersikap terkait putusan Pengadilan Negeri (Surabaya). Bisa diuji materi untuk pembatalan. Siapapun bisa mengajukan uji materi. Kan sudah pernah diuji materikan (untuk pernikahan beda agama) kalau tidak salah tahun 1986 dan diputuskan tetap tidak diperbolehkan. Jadi kantor catatan sipil hanya sekedar mencatat tidak mengesahkan,” jelasnya.

Rencananya, kata Djuan, Peradi Surabaya sendiri akan melakukan rapat terkait keputusan PN Surabaya tersebut.

“Banyak kawan-kawan (di Peradi) yang menilai (keputusan PN Surabaya) nggak bener. Nanti dilihat hasil rapat bagaimana?” pungkasnya. (pia)

MIXADVERT JASAPRO