Pasar Ternak di Gunungkidul Diduga Jadi Penyebab Penyebaran Antraks

JagatBisnis.com – Penyakit antraks yang disebabkan bakteri Bacillus anthracis kembali merebak di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dua desa, yakni Kalurahan Hargomulyo di Kapanewon Gedangsari dan Kalurahan Gombang di Kapanewon Ponjong, kini berstatus zona merah antraks.

Sedikitnya sudah ada 15 hewan ternak yang mati akibat antraks, dan 26 warga yang menunjukkan gejala mirip antraks dan kini sampelnya sedang diperiksa di Balai Besar Penelitian Veteriner (BB Litvet) Bogor, Jawa Barat.

Epidemiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Riris Andono Ahmad, mengatakan bahwa kemungkinan paling besar masuknya antraks ke Gunungkidul disebabkan oleh mobilitas hewan ternak yang tidak sehat. Pasalnya, Gunungkidul dengan Pasar Hewan Siyono Harjo di Playen, merupakan salah satu simpul penting lalu lintas hewan ternak dari luar daerah seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur.

“Ketika hewan itu berasal dari tempat yang sudah endemik antraks, itu tentu meningkatkan risiko munculnya antraks juga di Gunungkidul,” kata Doni, sapaan akrab Riris Andono, ketika dihubungi, Rabu (2/2).

Celakanya, tidak semua hewan ternak yang keluar-masuk Gunungkidul telah melalui pemeriksaan kesehatan. Bahkan, seringkali pedagang itu sengaja menghindari pos-pos pemeriksaan seperti pusat kesehatan hewan (puskeswan).
“Misalnya mereka sengaja lewat jalan-jalan tikus untuk menghindari pemeriksaan itu,” lanjutnya.

Baca Juga :   Kematian Sapi di Maros Negatif Antraks

Yang jadi masalah, sekali sebuah tempat telah terkontaminasi antraks, maka risiko munculnya antraks kembali di tempat tersebut akan makin besar. Pasalnya, spora bakteri antraks ini dapat hidup di alam selama puluhan tahun. Jadi, ketika ada hewan ternak yang terkontaminasi antraks, kemudian dia mati dan dikubur tidak sesuai standar, suatu saat bakteri tersebut bisa menginfeksi hewan ternak lain, bahkan manusia.

Doni mencontohkan kasus antraks yang terjadi di Siberia Barat pada 2016 yang mengakibatkan seorang anak meninggal. Antraks itu ditularkan oleh bangkai seekor rusa kutub yang terinfeksi antraks dan sudah tertimbun salju selama 70 hingga 80 tahun silam. Pada 2016, ketika musim panas lebih hangat dari biasanya, salju yang selama puluhan tahun mengubur bangkai rusa itu mencair.

“Akibatnya bakteri antraks dan bangkai rusa itu mengontaminasi lingkungan di sekitarnya,” ujarnya.
Karena itu, Doni menekankan pentingnya pengetatan lalu lintas hewan ternak yang keluar dan masuk ke Gunungkidul. Tak sampai di situ, mestinya semua hewan ternak yang masuk ke pasar juga memiliki sertifikat sehat dari instansi terkait seperti puskeswan.

Baca Juga :   Kematian Sapi di Sulsel Bukan karena Antraks

Untuk kondisi saat ini, supaya penyebaran antraks di Gunungkidul tak makin parah dan meluas, dia mengimbah supaya pemerintah segera menghentikan sementara perdagangan hewan dari tempat-tempat yang sudah jadi zona merah serta melakukan vaksinasi kepada hewan-hewan ternak yang ada. Masyarakat juga mesti diminta ketika menemui hewan ternak yang tiba-tiba sakit untuk segera melaporkan ke petugas, jangan menanganinya sendiri apalagi memakannya.

“Saya belum menemukan referensi bahwa antraks itu adalah penyakit yang musiman, apalagi kita kan iklimnya relatif stabil, jadi masalah utamanya adalah bagaimana memperlakukan hewan ternak tersebut,” kata Doni.

Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul, Dewi Irawaty, mengamini bahwa mobilitas hewan ternak yang sangat bebas di Gunungkidul juga telah meningkatkan risiko tingginya persebaran antraks di Gunungkidul. Apalagi spora antraks menurutnya juga tidak hanya bisa dibawa oleh hewan ternak, tapi juga oleh pakan ternak, dimana sumber pakan ternak di Gunungkidul juga banyak berasal dari luar daerah.

Baca Juga :   Belum Reda, 7 Warga Gunungkidul Diduga Terkena Antraks

“Sehingga posisi Gunungkidul sangat riskan, dan ini sebenarnya berpotensi juga terjadi di semua daerah, tidak hanya di Gunungkidul,” kata Dewi Irawaty.

Untuk itu, sebagai benteng untuk mencegah persebaran antraks, mobilitas hewan ternak memang harus diperketat melalui pos-pos pemeriksaan. Sebenarnya saat ini sudah ada aturan bahwa setiap hewan ternak memiliki surat keterangan kesehatan, namun penerapan di lapangan belum bisa menjangkau semuanya.

“Jadi harus diperketat lagi memang,” lanjutnya.

Masalah lain adalah masih adanya kebiasaan brandu, yakni warga pemilik ternak menyembelih hewan ternaknya yang sakit kemudian menjual dagingnya ke tetangga kiri dan kanannya di bawah harga pasar. Dewi memaklumi hal tersebut, mengingat herga hewan ternak seperti sapi memang tidak murah, bisa mencapai belasan bahkan puluhan juta. Karena itu, saat ini pemerintah juga sedang membahas solusi untuk memberikan ganti rugi kepada pemilik ternak yang hewan ternaknya mati.

“Tapi masih harus dibahas, karena tentu harus disesuaikan dengan kemampuan pemerintah daerah,” kata Dewi Irawaty.(pia)

MIXADVERT JASAPRO