Indonesia Butuh Biaya Mitigasi Perubahan Iklim Rp3.779 Triliun Hingga 2030

JagatBisnis.com – Pemerintah Indonesia setiap tahun menyiapkan dana untuk mitigasi bencana. Adapun dana yang dibutuhkan untuk memitigsi perubahan iklim yang sesuai dengan target Nationally Determined Contribution (NDC) mencapai Rp3.779 triliun.

Wakil Menteri Keuangan (Kemenkeu) Suahasil Nazara mengatakan dana sebesar itu untuk kebutuhan dari periode 2020 hingga 2030. Perkiraan kebutuhan dana itu dibuat berdasarkan referensi dari peta jalan NDC Mitigasi Indonesia dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Referensi dibuat dengan menggunakan pendekatan biaya aksi mitigasi.

“Dari hasil referensi itu pemerintah mendapat angka, kebutuhan pendanaan dalam rangka mitigasi perubahan iklim mencapai Rp343,6 triliun. Indonesia berkomitmen akan menurunkan emisi CO2 pada 2030 sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen kalau kita mendapatkan bantuan internasional,” katanya, Rabu (17/11/2021).

Dia menjelaskan, Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris atau Paris Agreement yang di dalamnya terdapat komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2016. Berdasarkan dokumen NDC, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen melalui kemampuan sendiri dan 41 persen melalui dukungan internasional pada 2030.

“Secara rinci, kebutuhan pendanaan mitigasi perubahan iklim tersebut jika dilihat per sektor meliputi sektor kehutanan Rp93,28 triliun, energi dan transportasi Rp3.500 triliun, IPPU Rp0,92 triliun, limbah Rp181,4 triliun, serta pertanian Rp4,04 triliun,” ungkapnya.

Sementara, lanjut dia, berdasarkan referensi dari Second Biennial Update Report dan KLHK pada 2018, biaya mitigasi perubahan iklim untuk mencapai NDC adalah sebanyak Rp3.461 triliun hingga 2030. Biaya Rp3.461 triliun itu meliputi sektor kehutanan Rp77,82 triliun, energi dan transportasi Rp3.307,2 triliun, IPPU Rp40,77 triliun, limbah Rp30,35 triliun, serta pertanian Rp5,18 triliun.

“Ada dua sektor yang besar adalah kehutanan serta energi dan transportasi. Maka, sejumlah biaya itu akan digunakan untuk menurunkan emisi CO2 sebesar 29 persen di sektor kehutanan sebanyak 497 Mton CO2e, energi dan transportasi 314 Mton CO2e, limbah 11 Mton CO2e, pertanian 9 Mton CO2e, serta IPPU 3 Mton CO2e,” imbuhnya.

Dia menambahkan, untuk menurunkan emisi CO2 sebesar 41 persen dengan biaya bantuan internasional akan dilakukan terhadap sektor kehutanan sebanyak 692 Mton CO2e, energi dan transportasi 446 Mton CO2e, limbah 40 Mton CO2e, pertanian 4 Mton CO2e, serta IPPU 3,25 Mton CO2e. Upaya ini harus dilakukan karena sejak 2010 sampai 2018 emisi gas rumah kaca (GRK) nasional naik sekitar 4,3 persen per tahun.

“Itu juga harus dilakukan karena suhu di Indonesia pada periode 1981 sampai 2018  naik 0,03 derajat celcius per tahun di Indonesia. Selain itu, permukaan air laut turut mengalami kenaikan sekitar 0,8 sampai 1,2 centimeter per tahun. Padahal, 65 persen penduduk tinggal di wilayah pesisir. Itu membuat perubahan iklim menjadi ancaman besar bagi Indonesia. Terlebih lagi, perubahan iklim dapat meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi yang belakangan ini sering terjadi di Indonesia,” pungkasnya. (*/eva)

MIXADVERT JASAPRO