“Di pasar internasional, perusahaaan kayu dari negara berkembang seperti Indonesia diminta untuk memenuhi standar negara pembeli seperti Eropa. Itu sebabnya, berdirilah lembaga seperti FSC yang menerbitkan logo dagang produk kayu. Masalahnya, pelaku bisnis di negara berkembang dibuat ruwet karena harus memenuhi kriteria sustainability yang berbeda di antara lembaga sertifikasi kayu.
Jadi, belum ada kriteria yang dibuat untuk standar internasional melalui ISO,” bebernya.
Menurutnya, sertifikasi ini bagian dari strategi dagang. Perusahaan kayu diminta punya sertifikasi oleh pembeli di luar negeri. Kendati sifatnya voluntir. Tapi kalau tidak punya sertifikatnya berakibat kesulitan masuk pasar ekspor. Tak heran, beberapa lembaga sertifikasi hutan melibatkan jejaring LSM, baik internasional dan lokal supaya perusahaan mempunyai sertifikat hutan lestari.
Discussion about this post