Ekbis  

Duh, Utang Luar Negeri Indonesia Meningkat

JagatBisnis.com – Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia Februari 2021 mencapai US$ 422,6 miliar atau sekitar Rp 6.169 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.600.

Angka ini lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 2,7%. ULN ini terdiri dari ULN pemerintah yang per Februari mencapai US$ 209,2 miliar atau Rp 3.051 triliun.

Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Gerindra Kamrussamad mengungkapkan utang merupakan konsekuensi belanja negara yang ekspansif. Dengan adanya pandemi COVID-19, maka pemerintah meningkatkan pengeluarannya untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional baik dari segi sosial, ekonomi maupun kesehatan.

Selain itu, dengan kondisi yang dialami saat ini, pemerintah harus memanfaatkan momentum ini untuk dapat kembali bersaing melalui strategi-strategi kebijakan yang akan dilaksanakan.

Baca Juga :   Pemerintah Diminta Waspada Terhadap Jebakan Utang China

“Melalui perdebatan yang muncul akibat adu argumen terkait perbandingan besaran utang negara, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana strategi efektif yang dapat ditempuh agar ekonomi dapat lekas pulih kembali, bukan malah “tawuran” argumen yang dapat memicu hambatnya pemulihan ekonomi,” kata dia dalam keterangannya, Sabtu (17/4/2021).

Kamrussamad mengatakan ada tiga rasio untuk mengukur utang suatu negara dikatakan over borrowing atau lower borrowing. Pertama DSR (Debt Service Ratio), merupakan rasio pembayaran bunga dan cicilan utang terhadap penerimaan ekspor dengan batas aman sebesar 20%.

Kemudian DER (Debt Export Ratio), merupakan rasio total ULN dengan penerimaan ekspor dengan batas aman sebesar 200%. Selanjutnya DGDP (Debt to GDP ratio), merupakan rasio antara total ULN terhadap PDB dengan batas aman 40%.

Baca Juga :   Jika Proyek IKN Dilanjutkan, Utang Negara Capai Rp10 Ribu Triliun

Menurut dia berdasarkan data Februari 2021, DGDP ratio sebesar 39,7%, sedangkan data mengenai DSR dan DER masing-masing sebesar 27,86% dan 215.4% pada IV-2020.

“Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia mengalami over borrowing ketika dilihat dari indikator DSR dan DER. Sedangkan dengan indikator DGDP, nilai hampir melebihi batas aman sehingga diperlukan manajemen utang dengan hati-hati dan terstruktur,” kata dia.

Dia mengungkapkan pemerintah dapat menjalan strategi dalam melakukan manajemen utang seperti mendapatkan sumber pendanaan dengan biaya yang murah, meminimalkan risiko terkait portofolio utang, dan mendukung pengembangan pasar.

Baca Juga :   Pemerintah Optimistis Kembalikan Rasio Utang ke Bawah 30 Persen

Karena itu pemerintah harus memiliki pedoman arah kebijakan antara lain pengurangan pinjaman valas secara gradual dan terencana. Selanjutnya fokus pada pinjaman domestik dengan jatuh tempo jangka menengah dan panjang.

Kemudian penerbitan SPN (Treasury bills dengan jatuh tempo 12 bulan) hanya untuk manajemen kas dan tidak untuk menutup defisit atau refinancing utang yang masih ada. Selanjutnya bisa fokus pada suku bunga tetap untuk pinjaman baru.

Sementara itu untuk obligasi internasional hanya diterbitkan untuk membiayai kewajiban dalam valas, memperkuat cadangan devisa, dan menghindari crowding out pasar obligasi domestik.(HAB)

MIXADVERT JASAPRO