Money Politik, Biaya Politik Jadi Tinggi

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata Foto: Kompas

JagatBisnis.com  –  Penyelenggara Pemilu kembali diingatkan mengenai upaya pencegahan money politik. Karena praktik ini membuat biaya politik tinggi. Sehingga berakibat pada proses pencalonan. Apalagi, banyak calon kepala daerah maupun calon anggota legislatif menggandeng pengusaha sebagai sponsor untuk memuluskan praktik tersebut.

“Dari beberapa survei yang kami lakukan dan data Kemendagri, biaya politik mahal sekali. Semakin tinggi biaya dikeluarkan, maka semakin besar peluang untuk menang. Semakin tinggi memberi uang, masyarakat kita semakin memilihnya,” kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata dikutip Sabtu (23/7/2022).

Alex menjelaskan, para sponsor alias pemodal dari para calon eksekutif dan legislatif adalah pengusaha ataupun kontraktor yang sudah terbilang mapan secara finansial. Sehingga harapan, jika calonnya menang semua proyek, atau mengajuam izin pembukaan hutan atau pertambangan, berharap bisa dipermudah.

“Jadi, banyak proyek-proyek calon kepala daerah dan legislatif yang disokong oleh pengusaha, membuat sebuah permufakatan yang menyebabkan terjadinya tindak pidana korupsi pada proses pengadaan barang dan jasa. Makanya proses lelang di sebagian besar daerah, itu hanya formalitas. Pemenang lelangnya bahkan mungkin sudah ditentukan sejak penyusunan anggaran. Itulah dampak mahalnya biaya mencalonkan diri dalam Pemilu,” terangnya.

Dia mengaku, pihaknya meminta kepada penyelenggara Pemilu 2024 mendatang agar lebih menguatkan penegakan hukum. Sehingga praktik politik uang dalam Pemilu bisa dicegah untuk menekan biaya politik yang tinggi. Selain itu, kalau menghendaki Pemilu berintegritas dan berkualitas, ada 3 syarat, yaitu penyelenggaranya berintegritas, calonnya berintegritas, dan pemilihnya harus berintegritas.

“Semua itu merupakan komitmen dan bentuk perhatian kami kepada pihak penyelenggara Pemilu agar kejadian serupa tidak timbul dikemudian hari. Karena dari statistik penindakan korupsi, operasi tangkap tangan (OTT) pertama ke penyelenggara Pemilu. Itu bukan hal yang patut dibanggakan, tapi harus menjadi pembelajaran agar jangan sampai terulang kembali,” pungkasnya. (*/esa)

MIXADVERT JASAPRO