Ekbis  

Bioteknologi, Solusi Ketahanan Pangan Indonesia

jagatBisnis.com — Populasi manusia kini semakin meningkat dan berdampak pada konsumsi bahan pangan. Sehingga Indonesia perlu melakukan peningkatan hasil pangan, baik dari pertanian maupun peternakan. Namun, peningkatan hasil pangan tersebut tidak dapat menyaingi tingkat pertumbuhan populasi penduduk setiap tahunnya. Oleh karena itu, dikhawatirkan pada masa mendatang, akan mengalami kekurangan pangan. Berbagai cara dilakukan untuk menunjang ketahanan pangan. Salah satunya dengan inovasi teknologi melalui bioteknologi.

Direktur IndoBic, Bambang Purwantara menjelaskan, selama 24 tahun bioteknologi sudah diterapkan di dunia. Data dari The International Service for the Acquisition of Agri-biotech Applications (ISAAA), hingga tahun 2019, ada 71 negara yang telah mengadopsi tanaman bioteknologi sejak tahun 1996. Sebanyak 29 negara menanam dan mengimpor tanaman bioteknologi. Sedangkan, 42 negara lainnya sudah memanfaatkan dengan mengimpor tanaman bioteknologi untuk kepentingan pangan, kesehatan dan lain-lainnya.

“Sebanyak 91 persen dari total tanaman bioteknologi yang ada. Di dunia, tanaman bioteknologi dibudidaya di lahan seluas 190,4 juta hektar oleh 5 negara, yaitu USA, Brazil, Argentina, Canada dan India,” katanya dalam acara Webinar Bioteknologi Seri 3 bertema “Potensi Bioteknologi Pertanian dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan di Indonesia”, Kamis (17/12/2020).

Menurutnya, Indonesia sebenarnya sudah dianggap menerapkan tanaman bioteknologi. Karena sudah ada tanaman yang diadopsi untuk ditanam, yaitu tebu tahan kering. Sayangnya, hingga saat ini pihaknya masih menunggu 1 peraturan dari Kementerian Pertanian (Kementan) yang akan menjadi panduan petani untuk menanamnya.

“Petani Indonesia hingga saat ini belum ada yang berani mengadopsi tanaman bioteknologi. Hal itu karena hingga saat masih ada kegamangan dari para petani. Kejelasan monitoring dan evaluasi pencapaian pasca panen masih menjadi masalah. Padahal bioteknologi merupakan kegiatan teknologi yang paling cepat berkembang di dunia,” ujarnya.

Oleh sebab itu, lanjut Bambang, bioteknologi dapat membantu mengatasi banyak masalah. Diantaranya, berkontribusi bagi ketahanan pangan, berkelanjutan dan perubahan iklim. Karena dengan bioteknologi, produktivitas dan kesejahteraan petani Indonesia meningkat. Walaupun Indonesia kaya akan produk bioteknologi, baik dalam bidang pertanian, peternakan, serta farmasi. Tentu, perkembangan bioteknologi tetap harus diawasi oleh pemerintah.

“Untuk Indonesia, pengembangan produk bioteknologi pertanian yang paling potensial adalah kedelai. Apalagi, 90 persen kedelai yang dimanfaatkan di dalam negeri untuk memproduksi tahu dan tempe bersumber dari impor yang notabene dihasilkan melalui bioteknologi,” ulasnya.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA), Winarno Tohir menambahkan, produk bioteknologi sudah lama diperjuangkan petani Indonesia untuk segera diterapkan. Padahal banyak kelebihan dari tanaman bioteknologi. Selain meningkatkan produktifitas juga meningkatkan perekonomian petani.

“Sayangnya, hingga saat ini petani Indonesia belum bisa menerapkan teknologi terkini dari bioteknologi sehingga petani kita tetap menjadi petani konvensional, walaupun sudah dilakukan dengan tahapan yang moderen. Oleh sebab itu, dukungan teknologi sangat diperlukan. Apalagi luas lahan makin berkurang dengan bertambahnya penduduk yang terus meningkat,” paparnya.

Winarno mengakui, apabila hal ini diteruskan, maka petani Indonesia bisa tersisih saat teknologi diterapkan oleh negara lain. Sehingga petani hanya  jadi mengimpor terbesar. Karena teknologi terus berkembang, tapi untuk digunakan di negara ini malah dipersulit.

“Petani tanpa bekal teknologi yang terkini, maka akan tetap menjadi petani tradisional di era teknologi 4.0 ini. Sehingga petani Indonesia masih terbelakang,” tegasnya.

Dia paparkan, seperti Ethiopia di Afrika misalnya, dengan teknologi pada tahun 2020 ini bisa menjadi negara adidaya pertanian dan ketahanan pangan ke-12 versi Food Sustainability Indeks (FSl). Sedangkan, Indonesia berada di posisi ke-21. Padahal, Indonesia juga pernah membantu perekonomian Afrika selama 22 tahun dengan mengirimkan beras sebanyak 150 ton setiap tahunnya melalui FAO. Bahkan, Indonesia masih memiliki Pusat Pelatihan, Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) di Afrika.

“Sangat nyata perbedaannya antara negara dengan teknologi dan negara tanpa teknologi. Hal ini menandakan Indonesia yang tertinggal jauh dibandingkan negara di Afrika yang sudah menerapkan teknologi. Padahal 34 tahun lalu, Ethiopia masih sangat terbelakang, banyak kemiskinan dan kelaparan hingga kekeringan. Makanya, petani Indonesia saat ini sangat berharap masuknya bioteknologi ke Indonesia agar kesejahteraan petani meningkat seperti petani di negara- negara lain yang sudah terlebih dahulu menerapkan teknologi lebih awal yang di fasilitasi negaranya,” tutup Winarno. (eva)

Baca Juga :   Pentingnya Komunikasi Digital di Masa Pandemi untuk Kemajuan Pertanian
MIXADVERT JASAPRO